Taut

Berbahagialah al ghuroba

6 Mar

Berbahagialah al ghuroba

 

Imam Muslim meriwayatkan di dalam Shahihnya dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam datang dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali menjadi asing sebagaimana kedatangannya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing itu.” (HR. Muslim [145] dalam Kitab al-Iman.Syarh Muslim, 1/234).

an-Nawawi rahimahullah menukil keterangan al-Harawi bahwa makna orang-orang yang asing adalah : orang-orang yang berhijrah meninggalkan negeri/daerah mereka karena kecintaan mereka kepada Allah ta’ala (Syarh Muslim, 1/235).

Keterangan al-Harawi di atas dilandaskan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dalam Shahihnya dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing dan ia akan kembali menjadi asing,
maka beruntunglah orang-orang yang asing.” Ada yang bertanya, “Siapakah yang dimaksud dengan orang-orang asing?”. Beliau menjawab, “Yaitu orang-orang yang memisahkan diri dari kabilah-kabilah [mereka].” (HR. Ibnu Majah [3978] dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibni Majah [8/488] namun tanpa tambahan ‘ada yang bertanya, dan seterusnya’, as-Syamilah).

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya dari Abdullah bin Amr bin al-’Ash radhiyallahu’anhu, dia mengatakan; Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara dan ketika itu kami berada di sisi beliau, “Beruntunglah orang-orang yang asing.” Kemudian ada yang menanyakan, “Siapakah yang dimaksud orang-orang yang asing itu wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Orang-orang salih yang hidup di tengah-tengah orang-orang yang jelek lagi banyak [jumlahnya]. Orang yang mendurhakai mereka lebih banyak daripada orang yang menaati mereka.” (HR. Ahmad 6362 [13/400], disahihkan al-Albani dalam Shahih w a Dha’if al-Jami’ 7368 [3/443] as-Syamilah)

Syaikh al-Albani rahimahullah menyebutkan di dalam Silsilah al-Ahadits as-Shahihah penafsiran makna orang-orang yang asing tersebut dengan sanad yang sahih. Diriwayatkan oleh Abu Amr ad-Dani dalam as-Sunan al-Waridah fi al-Fitan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu secara marfu’ -sampai kepada Nabi-, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Islam itu datang dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing seperti ketika datangnya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing.” Ada yang bertanya, “Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Yaitu orang-orang yang tetap baik [agamanya] tatkala orang-orang lain menjadi rusak.” (as-Shahihah no 1273 [3/267]. as-Syamilah, lihat juga Limadza ikhtartul manhaj salafi, hal. 54).

al-Qari menafsirkan bahwa makna orang-orang yang asing adalah orang-orang yang memperbaiki [memulihkan] ajaran Nabi yang telah dirusak oleh manusia sesudahnya. Beliau berdalil dengan hadits yang diriwayatkan melalui Amr bin Auf al-Muzani radhiyallahu’anhu, demikian dinukilkan oleh al-Mubarakfuri (Tuhfat al-Ahwadzi [6/427] as-Syamilah).

Imam Tirmidzi menyebutkan dalam Sunannya hadits tersebut yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Mereka itu adalah orang-orang yang memperbaiki ajaranku yang telah dirusak oleh manusia-manusia sesudah kepergianku.” (HR. Tirmidzi [2554] dari Amr bin Auf al-Muzani radhiyallahu’anhu, namun hadits ini dinyatakan berstatus dha’if jiddan -lemah sekali- oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan at-Tirmidzi [2630] as-Syamilah, lihat pula Limadza ikhtartul manhaj salafi, hal. 53 oleh Syaikh Salim al-Hilali).

al-Mubarakfuri menjelaskan makna ‘ memperbaiki ajaranku yang telah dirusak oleh manusia-manusia’ yaitu : “Mereka mengamalkan ajaran/sunnah tersebut dan mereka menampakkannya sekuat kemampuan mereka.” (Tuhfat al-Ahwadzi [6/428] as-Syamilah). al-Mubarakfuri juga menjelaskan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi di atas bersatus lemah dikarenakan terdapat seorang periwayat yang bernama Katsir bin Abdullah bin Amr bin Auf al-Muzani. al-Mubarakfuri berkata, “Katsir ini adalah periwayat yang lemah menurut banyak ulama ahli hadits, bahkan menurut mayoritas mereka. Sampai-sampai Ibnu Abdi al-Barr mengatakan, ‘Orang ini telah disepakati akan kedha’ifannya’.” Maka keterangan beliau ini menyanggah at-Tirmidzi yang menghasankan hadits di atas (lihat Tuhfat al-Ahwadzi [6/428] as-Syamilah).

Syaikh Salim al-Hilali hafizhahullah berkata, “…tidak ada riwayat yang sah mengenai penafsiran [Nabi] tentang makna al-Ghuraba’ (orang-orang asing) selain dua tafsiran yang marfu’ yaitu : [1] Orang-orang yang [tetap] baik tatkala masyarakat telah diliputi kerusakan. [2] Orang-orang salih yang hidup di tengah-tengah banyak orang yang buruk [agamanya], akibatnya orang yang menentang mereka lebih banyak daripada yang mengikuti mereka.” (Limadza ikhtartul manhaj salafi, hal. 55).

Imam at-Tirmidzi membawakan hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan datang suatu masa ketika itu orang yang tetap bersabar di antara mereka di atas ajaran agamanya bagaikan orang yang sedang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi [2260] disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’is Sunan at-Tirmidzi [5/260], as-Shahihah no 957. as-Syamilah).

Semoga Allah menjadikan kita termasuk al-Ghuroba’.. Allahumma amin.

 

Taut

Cadar Celana Cantung dan Jenggot = Ciri-Ciri Terroris ???

6 Mar
Logo of 'Hizb Allah'

Logo of ‘Hizb Allah’ (Photo credit: Wikipedia)

Baca lebih lanjut

Taut

Berbahagialah al ghuroba

6 Mar
English: The Muslim population of the world ma...

English: The Muslim population of the world map by percentage of each country, according to the Pew Forum 2009 report on world Muslim populations. (Photo credit: Wikipedia)

Berbahagialah al ghuroba

Bismillahirrohmanirrohiim

 

Imam Muslim meriwayatkan di dalam Shahihnya dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam datang dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali menjadi asing sebagaimana kedatangannya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing itu.” (HR. Muslim [145] dalam Kitab al-Iman.Syarh Muslim, 1/234).

 

an-Nawawi rahimahullah menukil keterangan al-Harawi bahwa makna orang-orang yang asing adalah : orang-orang yang berhijrah meninggalkan negeri/daerah mereka karena kecintaan mereka kepada Allah ta’ala (Syarh Muslim, 1/235).

Keterangan al-Harawi di atas dilandaskan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dalam Shahihnya dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing dan ia akan kembali menjadi asing,
maka beruntunglah orang-orang yang asing.” Ada yang bertanya, “Siapakah yang dimaksud dengan orang-orang asing?”. Beliau menjawab, “Yaitu orang-orang yang memisahkan diri dari kabilah-kabilah [mereka].” (HR. Ibnu Majah [3978] dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibni Majah [8/488] namun tanpa tambahan ‘ada yang bertanya, dan seterusnya’, as-Syamilah).

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya dari Abdullah bin Amr bin al-’Ash radhiyallahu’anhu, dia mengatakan; Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara dan ketika itu kami berada di sisi beliau, “Beruntunglah orang-orang yang asing.” Kemudian ada yang menanyakan, “Siapakah yang dimaksud orang-orang yang asing itu wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Orang-orang salih yang hidup di tengah-tengah orang-orang yang jelek lagi banyak [jumlahnya]. Orang yang mendurhakai mereka lebih banyak daripada orang yang menaati mereka.” (HR. Ahmad 6362 [13/400], disahihkan al-Albani dalam Shahih w a Dha’if al-Jami’ 7368 [3/443] as-Syamilah)

Syaikh al-Albani rahimahullah menyebutkan di dalam Silsilah al-Ahadits as-Shahihah penafsiran makna orang-orang yang asing tersebut dengan sanad yang sahih. Diriwayatkan oleh Abu Amr ad-Dani dalam as-Sunan al-Waridah fi al-Fitan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu secara marfu’ -sampai kepada Nabi-, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Islam itu datang dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing seperti ketika datangnya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing.” Ada yang bertanya, “Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Yaitu orang-orang yang tetap baik [agamanya] tatkala orang-orang lain menjadi rusak.” (as-Shahihah no 1273 [3/267]. as-Syamilah, lihat juga Limadza ikhtartul manhaj salafi, hal. 54).

al-Qari menafsirkan bahwa makna orang-orang yang asing adalah orang-orang yang memperbaiki [memulihkan] ajaran Nabi yang telah dirusak oleh manusia sesudahnya. Beliau berdalil dengan hadits yang diriwayatkan melalui Amr bin Auf al-Muzani radhiyallahu’anhu, demikian dinukilkan oleh al-Mubarakfuri (Tuhfat al-Ahwadzi [6/427] as-Syamilah).

Imam Tirmidzi menyebutkan dalam Sunannya hadits tersebut yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Mereka itu adalah orang-orang yang memperbaiki ajaranku yang telah dirusak oleh manusia-manusia sesudah kepergianku.” (HR. Tirmidzi [2554] dari Amr bin Auf al-Muzani radhiyallahu’anhu, namun hadits ini dinyatakan berstatus dha’if jiddan -lemah sekali- oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan at-Tirmidzi [2630] as-Syamilah, lihat pula Limadza ikhtartul manhaj salafi, hal. 53 oleh Syaikh Salim al-Hilali).

al-Mubarakfuri menjelaskan makna ‘ memperbaiki ajaranku yang telah dirusak oleh manusia-manusia’ yaitu : “Mereka mengamalkan ajaran/sunnah tersebut dan mereka menampakkannya sekuat kemampuan mereka.” (Tuhfat al-Ahwadzi [6/428] as-Syamilah). al-Mubarakfuri juga menjelaskan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi di atas bersatus lemah dikarenakan terdapat seorang periwayat yang bernama Katsir bin Abdullah bin Amr bin Auf al-Muzani. al-Mubarakfuri berkata, “Katsir ini adalah periwayat yang lemah menurut banyak ulama ahli hadits, bahkan menurut mayoritas mereka. Sampai-sampai Ibnu Abdi al-Barr mengatakan, ‘Orang ini telah disepakati akan kedha’ifannya’.” Maka keterangan beliau ini menyanggah at-Tirmidzi yang menghasankan hadits di atas (lihat Tuhfat al-Ahwadzi [6/428] as-Syamilah).

Syaikh Salim al-Hilali hafizhahullah berkata, “…tidak ada riwayat yang sah mengenai penafsiran [Nabi] tentang makna al-Ghuraba’ (orang-orang asing) selain dua tafsiran yang marfu’ yaitu : [1] Orang-orang yang [tetap] baik tatkala masyarakat telah diliputi kerusakan. [2] Orang-orang salih yang hidup di tengah-tengah banyak orang yang buruk [agamanya], akibatnya orang yang menentang mereka lebih banyak daripada yang mengikuti mereka.” (Limadza ikhtartul manhaj salafi, hal. 55).

Imam at-Tirmidzi membawakan hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan datang suatu masa ketika itu orang yang tetap bersabar di antara mereka di atas ajaran agamanya bagaikan orang yang sedang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi [2260] disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’is Sunan at-Tirmidzi [5/260], as-Shahihah no 957. as-Syamilah).

Semoga Allah menjadikan kita termasuk al-Ghuroba’.. Allahumma amin.

Taut

Bukti kegigihan Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam menjaga Tauhid

6 Mar
للهــــم آميـــــن

للهــــم آميـــــن (Photo credit: ukhti27)

 

بسم الله الرحمن الرحيم

 Rasulullah  صلى الله عليه وسلم sungguh bersemangat selama hidupnya sebagai Rasul untuk mengabadikan dua pokok tauhid itu: Laa ilaaha illallaah, Muhammadur Rasuulullaah. Agar keduanya tetap bersih lagi jernih, maka beliau sama sekali tidak membolehkkan pengotoran dua pokok tauhid ini., walaupun terhadap orang yang paling dicintai dan paling terkesan baginya.

Bukti-buktinya;

  • A. Beliau pada suatu hari melihat di tangan Umar bin Khathab ra ada selembar kertas (waraqah) dari Taurat, dan Umar telah mengagumi apa yang ada di dalamnya, maka Rasulullah   صلى الله عليه وسلم marah dengan kemarahan yang keras, dan beliau berkata:

“Apa (apaan) ini! Sedangkan aku ada di belakang kalian. Sungguh telah aku bawakan dia (pengganti Taurat) dengan keadaan putih lagi suci… Demi Allah seandainya Musa  hidup (sekarang ini) pasti dia tidak ada kelonggarannya kecuali dia harus mengikutiku.” (Sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya 3/387, dan Al-Baihaqi dalam Syu’bul Iman, dan Ad-Darimi 1/115-116)

Dalam Hadits itu terdapat pengertian sebagai berikut:

Pertama: Rasulullah  صلى الله عليه وسلم  heran adanya orang yang mulai mencari petunjuk kepada selain Al-Quran dan As-Sunnah sedangkan beliau masih hidup. Termasuk tuntutan iman kepada Al-Quran dan As-Sunnah adalah meyakini bahwa petunjuk itu adanya hanyalah pada keduanya (Al-Quran dan As-Sunnah) itu.

 Kedua: Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah membawa agama yang suci murni, tidak dikaburkan oleh pembuat kekaburan berupa perubahan, penggantian, atau penyelewengan. Sedang para sahabat menerima agama Islam itu dengan wungkul (utuh) dan murni. Maka bagaimana mereka akan berpaling darinya dan mencari petunjuk kepada hal-hal yang menyerupai penyelewengan, penggantian, dan penambahan serta pengurangan.

 Ketiga: Bahwa Nabi Musa as sendiri yang dituruni Kitab Taurat seandainya dia masih hidup pasti dia wajib mengikuti Rasul صلى الله عليه وسلم, dan meninggalkan syari’at yang telah dia sampaikan kepada manusia.

Hadits ini adalah pokok mengenai penjelasan manhaj (pola) Al-Quran dan As-Sunnah. Tidak boleh seorangpun mencari petunjuk -untuk mengetahui bagaimana cara mendekatkan diri pada Allah dan memperbaiki diri- kepada ajaran yang tidak dibawa oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم

  • B. Dalil yang kedua bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم mendengar khathib yang berkhutbah di hadapan beliau, di antaranya ia berkata: “ Barangsiapa taat pada Allah dan rasulNya maka sungguh ia telah mendapat petunjuk, dan barangsiapa bermaksiat kepada keduanya  (waman ya’shihimaa)  maka sungguh dia telah sesat.”  Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم berkata padanya:

“Seburuk-buruk khathib kaum adalah kamu. Katakanlah: Barangsiapa bermaksiat pada Allah dan rasulNya maka sungguh dia telah sesat.” (HR Muslim 6/159-di Syarah An-Nawawi, dan Ahmad 4/256 dan 379).

Khatib ini telah memotong lafal “Rasulullah صلى الله عليه وسلم ” (tidak diucapkan tetapi diganti dengan dhamir/ kata ganti dan digandengkan dengan  ALLAH سبحنحا و تعال   ). Maka beliau mencelanya di depan orang banyak, karena khatib itu mengumpulkan antara Allah dan rasulNya dalam satu kataganti “waman ya’shihimaa” lalu Rasul صلى الله عليه وسلم   menyuruhnya untuk mengulangi penyebutan nama yang jelas bagi Allah dan bagi rasulNya, sehingga tidak akan dikira walau dari jauh bahwa kedudukan Rasul seperti kedudukan  ALLAH سبحنحا و تعال . Semangat Rasul صلى الله عليه وسلم ini adalah dalil atas wajibnya menjaga ketauhidan Allah Ta’ala dengan penjagaan yang sempurna, dan kewajiban membedakan dengan sempurna antara hal yang wajib untuk  ALLAH سبحنحا و تعال     dan yang wajib untuk RasulNya صلى الله عليه وسلم

  • C. Dalil ketiga: Bahwa Utsman bin Madh`un ra, seorang sahabat pilihan, ketika wafat, sedang Rasul صلى الله عليه وسلم hadir di sisinya dan mendengar seorang sahabat besar perempuan, Ummu Al-`Ala`, berkata: “Kesaksianku atasmu Abu  As-Saib (Utsman bin Madh`un), bahwa Allah sungguh telah memuliakanmu.” Maka Rasul صلى الله عليه وسلم membantahnya dengan berkata:

“Tahukah kamu bahwa Allah sungguh telah memuliakannya?”

Ini adalah peringatan yang besar dari Rasul صلى الله عليه وسلم kepada sahabat wanita ini karena dia telah menetapkan hukum dengan hukum yang menyangkut kegaiban. Ini tidak boleh, karena tidak ada yang menjangkau hal gaib kecuali ALLAH سبحنحا و تعال. Tetapi Shahabiyah (sahabat wanita) ini membalas dengan berkata: “Subhanallah, ya Rasulallah!! Siapa (lagi) kah yang akan Allah muliakan kalau Dia tidak  memuliakannya?” Artinya, jika Utsman bin Madh`un ra tidak termasuk orang yang dimuliakan ALLAH سبحنحا و تعال , maka siapa lagi yang masih tersisa pada kita yang akan dimuliakan ALLAH سبحنحا و تعال. Ini jawaban yang sangat mengena dan signifikan/ cukup bermakna. Tetapi Rasul صلى الله عليه وسلم menolaknya dengan ucapan yang lebih mengena dari itu, di mana beliau bersabda:

“Demi Allah, saya ini benar-benar utusan Allah, (tetapi) saya tidak tahu apa yang Dia perbuat padaku esok.”  Ini adalah puncak perkara. Rasul sendiri yang dia itu orang yang dirahmati dan disalami oleh Allah , beliau wajib berhati-hati dan mengharap rahmat Allah. Dan disinilah Ummu Al`Ala` sampai pada hakekat syara` yang besar, maka dia berkata: “Demi Allah, setelah ini saya tidak akan menganggap suci terhadap seorangpun salama-lamanya.” (Diiwayatkan Al-Bukhari 3/385, 6/223 dan 224, 8/266 dari Fathul Bari, dan Ahmad 6/436 dari Ummi Al`Ala` Al-Anshariyah binahwihi).

Pokok yang ini ditetapkan dalam syari’at pada ayat-ayat dan hadits-hadits yang banyak. Di antaranya firman Allah ALLAH سبحنحا و تعال:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih. Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendakiNya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.

Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka).” (An-Nisaa`/ 4:49-50).  

“(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan dia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.”  (An-Nisaa’/ 123).

  • D. Dalil keempat: Bahwa seorang lelaki datang kepada Rasul صلى الله عليه وسلم dan berkata:

“Apa yang Allah kehendaki dan engkau kehendaki.” Maka Rasul صلى الله عليه وسلم bersabda:

“Apakah kamu menjadikan aku sebagai tandingan bagi Allah? Katakanlah: “Apa yang Allah kehendaki sendiri.” (HR Ahmad 1/214,224,283,347, Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad 783 dan selain keduanya.)

Rasul صلى الله عليه وسلم telah menjadikan kehendak itu bagi Allah sendiri, sehingga mengajarkannya kepada mukminin bahwa tiada kemauan seorangpun yang bersama kemauan   ALLAH سبحنحا و تعال

Taut

Sifat Sifat Salaf

6 Mar
Allah in Arabic

Allah in Arabic (Photo credit: Wikipedia)

Sifat Sifat Salaf

 

Bismillahirrohmanirrohiim

 

Salafusshalih (orang-orang terdahulu dari kalangan umat Islam yang shalih) memiliki segudang akhlak mulia yang “barangkali” sudah sangat jarang ditemui di masa sekarang ini. Maka, dalam risalah ini, saya coba susun beberapa akhlak mulia mereka agar bisa menjadi perenungan bagi kita semua. Sudahkah kita memiliki akhlak mereka?

I. Salaf tidak Mencari-Cari Keburukan Muslim yang lain…

Seorang salaf, yang bernama Sahal ibn ‘Abdillah berkata, “Jangan suka mencari-cari kekurangan orang lain dankeburukan akhlaknya. Akan tetapi, cari dan telitilah bagaimana kondisi Anda di dalam akhlak Islam, sehingga Anda selamat dan bisa menghormati kedudukannya di dalam diri Anda dan di sisi Anda” [ حلية الأولياء و طبقات الأصفياء, IV/279 ].

II. Salaf Senantiasa Berwajah Ceria terhadap Orang Lain

Urwah bin Zubair, murid shahabat Nabi, berkata, “Tertulis di dalam hikmah, “Ucapkanlah kata-kata yang baik dan tampilkanlah wajah yang cerah. Niscaya Anda lebih dicintai orang daripada mereka yang memberikan banyak hadiah.” [ حلية الأولياء و طبقات الأصفياء, II/178 ]


II. Salaf, Marah Besar Bila Melihat Islam Dilecehkan

Abu Salamah ibn Abdurrahman ibn Auf berkata, “Di antara shahabat-shahabat Nabi صلى الله عليه و سلم, ada seseorang yang apabila melihat AGAMANYA HENDAK DILECEHKAN, bola matanya langsung terlihat berputar-putar di wajahnya seperti orang gila (karena sangat marangnya-ed)” [ حلية الأولياء و طبقات الأصفياء, IX/194 ]

III. Salaf Gembira Apabla Kebenaran Justru Muncul dari Lawan Debatnya

Hatim Al-Aslam berkata, “Aku mempunyai tiga pekerti yang membuatku bisa mengalahkan lawan bicaraku.” Apa itu?, tanya mereka. Ia menjawab, (1) Aku gembira jika lawan bicaraku benar. (2) Aku sedih jika ia salah. (3) Dan aku selalu menjaga diriku agar tidak membodohinya.”
Notes: Ketika hal ini didengar Imam Ahmad ibn Hambal, ia berkata, Subhanallah, betapa cedasnya ia.” [ lihat:
حلية الأولياء و طبقات الأصفياء, VII/82 ]

IV. Salaf Adalah Manusia yang Paling Sayang Kepada Ahli Maksiat, dengan Tidak Membiarkannya Terus dalam Kemaksiatannya.

Salaf bernama Mughirah berkata, “Ada seorang pria baik, tetapi kemudian melakukan perbuatan dosa. Hal ini kemudian diketahui Ibrahim An-Nakha’i, salah seorang ulama besar salafi. Lalu, Ibrahim berkata, “BANTULAH DIA, DAN NASIHATILAH DIA! JANGAN MENINGGALKANNYA”
[
حلية الأولياء و طبقات الأصفياء, IV/233 ]


V. Salaf memberi Nasehat bahwa JURUS TERAKHIR SETAN ADALAH WANITA

Tabi’in senior Sa’id bin Musayyib berkata, “Setiap kali setan merasa frustasi terhadap sesuatu (menggoda manusia-ed), IA PASTI MENDATANGI KORBANNYA MELALUI WANITA.
[
حلية الأولياء و طبقات الأصفياء, II/166 ]


VI. Salaf Mendoakan Kebaikan terhadap ORANG YANG MENDZALIMINYA

Al-’Alaa bin Musayyib berkata, “Ar-Rabi’ bin Khutsaim pernah Menjadi korban pencurian kuda, lalu warga pengajiannya berkata, “KUTUKLAH DIA” Ia menjawab, “JUSTRU AKU BERDOA UNTUKNYA: “YA الله JIKA DIA KAYA, TERIMALAH DENGAN HATINYA. JIKA DIA FAKIR, BERILAH DIA KECUKUPAN.”


VII. Salaf Membenci Popularitas dan Tidak Suka Terkenal di Mata Manusia

Bisyr ibn Harits berkata, “Aku tidak mengetahui orang yang ingin terkenal, melainkan agamanya hilang DAN AIBNYA TERBONGKAR, ia juga berkata, “Tiadk akan menemukan manisnya akhirat bagi orang yang INGIN DIKENAL ORANG BANYAK.
[
حلية الأولياء و طبقات الأصفياء, VIII/343 ]

Abu Muhammad

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ. “Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in).”[Muttafaq alaih] HR. Al-Bukhari (no. 2652) dan Muslim (no. 2533 (212)), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu.

Perhimpunan Umat Islam -(PUMI)-

menghimpun kekuatan untuk kemenangan

Point Fadh

Berbagi Pengetahuan Itu Indah

ILMU DAKWAH DAN JIHAD

IbnuAbdulloohAzis@ymail.com