Kutipan

IKUTI SUNNAH DAN TINGGALKAN YANG MENYELISIHINYA (PERKATAAN PARA IMAM MADZHAB)

5 Mar
Is not Allah sufficient for his servant? - II

Is not Allah sufficient for his servant? – II (Photo credit: д§mд)

IKUTI SUNNAH DAN TINGGALKAN YANG MENYELISIHINYA (PERKATAAN PARA IMAM MADZHAB)

Bismillahirrohmanirrohiim

Bismillahirrahmanirrahim..

Sesungguhnya segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, kami memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, dan memohon ampunan-Nya, dan kami berlindung kepada Allah dari kejelekan diri-diri kami dan keburukan amalan-amalan kami. Barangsiapa yang diberi Hidayah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala maka tidak ada yg dapat menyesatkannya dan barangsiapa yg disesatkan oleh-Nya maka tidak ada seorangpun yg dapat member petunjuk kepadanya. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq/benar selain Allah ‘azza wa jalla satu-satunya yg tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan Rasul-Nya.

“Amma ba’d. sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah (Al-Qur’an). Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah yg diada-adakan dan setiap yang bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim).

Saudara/saudariku, ya akhi/ukhti yg saya cintai krn Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bersyukurlah kita sekalian yg masuk ke dalam Islam, satu-satunya agama yg diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Telah jelas petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang dengan mengikutinya Insya Allah, kita menjadi orang yang beruntung di dunia dan di akhirat. Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: “Setiap umatku akan masuk Surga, kecuali orang yang enggan,” Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulallah, siapakah orang yang enggan itu?’ Rasulullah menjawab, “Barangsiapa mentaatiku akan masuk Surga dan barangsiapa yang mendurhakaiku dialah yang enggan”. (HR.Bukhari dalam kitab al-I’tisham) (Hadits no. 6851).

Dari hadits di atas telah jelas bahwa menaati Rasulullah yaitu dengan mengikuti petunjuk dari Al-Qur’an dan As-Sunnah akan mengantarkan kita pada Surga Allah ‘azza wa Jalla.

As-Sunnah atau Al-Hadits merupakan wahyu kedua setelah Al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah : “Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan (sesuatu) yang serupa dengannya.” -yakni As-Sunnah-, (H.R. Abu Dawud no.4604 dan yang lainnya dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad IV/130).

Oleh karena itu telas jelas bagi kita untuk berhukum dengan As-Sunnah dan tidak menyelisihinya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki maupun perempuan mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu ketetapan dalam urusan mereka, mereka memilih pilihan lain. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh, dia telah nyata-nyata sesat.” (Q.S. Al Ahzab: 36). Hal itu juga ditegaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; janganlah kamu berbantah-bantahan, karena akan menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al Anfal: 46).

Akhi/ukhti,, banyak sekali di kalangan umat Islam yg taqlid buta dan terlalu fanatik pada salah satu madzhab, sekalipun telah datang sunnah yg lebih shahih kepadanya. Padahal, sesungguhnya telas jelas bahwa mengikuti sunnah lebih utama dan itulah jalan yang yang telah dijalani kaum salafus shalih, dari kalangan para shahabat, tabi’in dan orang-orang sepeninggal mereka – termasuk empat imam madzhab- yang telah dijadikan panutan dan teladan oleh mayoritas kaum muslimin pada zaman ini.

Mereka semua sepakat bahwa berpegang teguh dan merujuk kepada sunnah serta meninggalkan semua ucapan yang menyalahinya adalah perkara yg wajib. Bagaimana pun besarnya orang yg menyalahi sunnah tersebut, karena kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jauh lebih besar dan jalan yang ditempuhnya lebih lurus. Oleh karena itu sudah sepantasnya kita mengikuti jalan mereka, menapaki langkah mereka dan mengikuti doktrin-doktrin mereka untuk berpegang teguh pada hadits Nabi, sekalipun hadits-hadits itu menyelisihi pendapat mereka sendiri.

Untuk lebih jelasnya, simaklah perkataan para imam Madzhab untuk mengikuti Sunnah dan meninggalkan perkataan yg menyelisihinya. Mudah-mudahan di dalamnya terkandung pelajaran dan peringatan bagi orang-orang yg taqlid buta kepada mereka –terlebih lagi taqlid kepada orang-orang yg levelnya jauh di bawah mereka, dan berpegang teguh pada madzhab dan pendapat tersebut, seolah-olah wahyu yg turun dari langit. Allah ‘azza wa Jalla berfirman: “Ikutilah apa yg diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (Al-A’raaf: 3).

  •  Imam Abu Hanifah rahimahullah

Imam madzhab yg pertama adl Imam Abu Hanifah An-nu’man bin Tsabit rahimahullah. Beliau mengatakan:

  1. “jika hadits itu shahih, maka itulah madzhabku.”
  2. “tidak halal bagi seorang pun mengambil perkataan kami, selama dia belum mengetahui darimana kami mengambilnya.”(1)

Dalam riwayat lain disebutkan: “orang yg tidak mengetahui dalilku, haram baginya berfatwa dng prkataanku.” Dalam riwayat lain ditambahkan: “sesungguhnya kami adalah manusia biasa, kami mengeluarkan pendapat hari ini, kemudian kami tarik kembali keesokan harinya.” Dalam riwayat lainnya disebutkan: “wahai Ya’qub (beliau adl Abu Yusuf), jnglah kamu catat segala sesuatu yg kmu dngar dariku. Bias jadi aQ kemukakan pndapat hari ini, lalu besok aku meninggalkannya, dan aku kemukakan pendapat besok hari, lalu aku meninggalkannya di hari berikutnya.”

3. “jika aku mengemukakan pndapat yg menyalahi kitab Allah dan hadits Rasulullah, maka tinggalkanlah pendapatku.”  

  •  Imam Malik bin Anas rahimahullah

Adapun Imam Malik rahimahullah, beliau mengatakan:

  1. “aku hanyalah manusia biasa, bisa salah dan bisa benar. Oleh karena itu pertimbangkanlah pendapatku, setiap apa yg sesuai dng Al-Qur’an dan As-Sunnah ambillah dan apa yg tidak sesuai dng Al-Qur’an dan As-Sunnah tinggalkanlah.”(2)
  2. “setiap orang bisa diambil perkataannya dan bisa pula ditolak, kecuali sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.”(3)
  3. Ibnu Wahab berkata: “aku prnah mendengar Malik ditanya perihal menyela-nyela jari kaki pada saat berwudhu, dan beliau menjawab bhw yg demikian itu tdk diwajibkan atas manusia.” Dia (Ibnu Wahab) berkata: “aku membiarkannya hingga jumlah orang semakin sedikit.” Lalu aku berkata kepada beliau: “kami mempunyai sebuah hadits dalam masalah itu.” Beliau bertanya: “hadits yg mana?” aku mengatakan: “telah menceritakan kepada kami Al-Laits bin Sa’ad, Ibnu lahi’ah, Amr bin Al-Harits (dia berkata) dari Yazid bin Amr Al-Mu’afin (dia berkata) dari Abdurrahman Al-Habli dari Al-Mustaurid bin Sadad Al-Qurasy, berkata: “aku pernah melihat Rasulullah menggosok-gosokan jari kelingkingnya ke sela-sela jari kaki beliau”. Maka Malik berkata: “Hadits ini hasan. aku belum mendengar hadits ini sama sekali kecuali saat ini.” Kemudian aku mendengar setelah itu beliau ditanya lagi untuk kedua kalinya, maka beliau memerintahkan untuk menyela-nyela jari kakinya.”(4)
  • Imam Asy-Syafi’i rahimahullah

Adapun Imam Syafi’I rahimahullah, riwayat yg dinukil dari beliau dalam masalah ini lebih banyak dan lebih baik, dan para pengikutnya lebih banyak mengamalkan pesan-pesan beliau dan lebih bahagia. Di antara pesan-pesan beliau adalah:

  1. “setiap orang bisa saja datang kepadanya satu sunnah Rasul bisa pula terlewat darinya, maka pendapat apa pun yg aku katakan atau prinsip apa pun yg aku gariskan, lalu ternyata trdapat hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyalahi apa yg aku katakan, maka apa yg disabdakan oleh Rasulullah itulah pendapatku.”(5)
  2. “kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yg telah mendapat kejelasan tentang sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka tidak halal baginya meninggalkan sunnah tersebut lantaran pendapat seseorang.”(6)
  3. “jika dalam kitabku kalian dapati sesuatu yg menyalahi hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka berpendapatlah dng hadits tersebut dan tinggalkanlah apa yg aku katakan.” (dalam riwayat lain dikatakan: “maka ikutilah hadits tersebut, dan janganlah kalian menoleh pada pendapat siapa pun”).(7)
  4. “jika hadits itu shahih, maka itulah madzhabku.”(8)
  5. “kalian lebih tahu tentang hadits dan para rawinya darpada aku. Jadi, jika hadits itu shahih, maka beritahu aku. Bagaimana pun hadits itu, apakah ia berasal dari Kufah, Basrah atau pun dari Syam, hingga aku bisa berpegang teguh dng hadits itu, jika hadits tersebut memang shahih.”(9)
  6. “masalah apa pun yg di sana ada hadits yg shahih menurut penilaian ahlul hadits, lalu hadits itu berbeda dng pendapatku, maka aku tarik kembali pendapatku, baik di masa hidupku maupun sesudah matiku.”(10)
  7. “setiap apa yg aku katakan jika menyalahi hadits yg shahih dari Rasulullah, maka hadits itu lebih utama, maka janganlah kalian taqlid kepadaku.”(11)
  8. “semua hadits yg berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pendapatku, walaupun kalian tidak mendengar hadits itu langsung dariku.”(12)
  • Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah

Adapun Imam Ahmad, beliau adalah imam yg paling banyak menghimpun hadits dan paling kuat dalam berpegang teguh dengan sunnah, sampai-sampai beliau tidak suka menyusun buku-buku yg memuat masalah cabang-cabang syariat dan pendapat-pendapat manusia.(13)

Oleh karena itu beliau mengatakan:

  1. “Janganlah kalian taqlid kepadaku. Jangan pula kepada Malik, Asy-Syafi’i, Al-Auza’I dan Ats-Tsauri, tapi ambillah darimana mereka mengambil.”(14) dalam riwayat lain dikatakan: “janganlah engkau taqlid dalam urusan agamamu kepada salah seorang dari mereka. Apa-apa yg datang dari Nabi dan para shahabatnya, ambillah. Adapun para tabi’in, seseorang diberikan pilihan (untuk menerima atau menolaknya).” Suatu kali beliau berkata: “makna ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yg datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya, kemudian setelah generasi tabi’in, dia boleh memilih (untuk menerima atau menolak).”(15)
  2. “pendapat Al-Auza’I, Malik dan Abu Hanifah, semua itu hanyalah pendapat yg menurutku sama saja. Sesungguhnya hujjah itu hanya ada pada atsar (hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam).”(16)
  3. “barangsiapa menolak hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka dia berada di tepi jurang kebinasaan.”(17)

Itulah pesan-pesan spiritual para Imam yg memerintahkan untuk memegang teguh hadits Rasulullah dan melarang taqlid kepada mereka tanpa ilmu yg jelas. Pesan-pesan itu begitu jelas dan terang, tidak perlu mengundang perdebatan dan tidak perlu lagi penafsiran. Atas dasar itu, maka barangsiapa yg berpegang teguh pada semua riwayat yg valid dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sekalipun itu menyelisihi sebagian pendapat para Imam, tidaklah berarti ia meninggalkan madzhabnya dan keluar dari jalan mereka. Justru dengan sikapnya itu dia telah mengikuti jejak langkah mereka semua, dan telah memegang erat tali yg amat kuat yang tidak akan putus. Tidak demikian halnya orang-orang yg meninggalkan hadits yg valid dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, semata-mata krn menyelisihi pendapat mereka. Justru dng sikapnya itu, dia telah berbuat durhaka kepada mereka (para imam Madzhab), sekaligus menyelisihi pesan-pesan yg telah disebutkan di atas.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“maka hendaklah orang-orang yg menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yg pedih.” (An-Nur: 63).

Oleh karena itu akhi/ukhti, sudah sepantasnya kita lebih mengagungkan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, berpegang teguh dan istiQomah di atasnya, itulah ahlussunnah wal jama’ah, itulah jalan salafush shalih. Sungguh nasihat ini bukan hanya untuk akhi/ukhti semua tp untuk diri ana sendiri terutama. RoMan sangat berharap kita tidak lagi mendebatkan soal sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Marilah kita mengikutinya, tidak menolaknya dan hendaknya takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Saya dan akhi/ukhti semua tentunya cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, oleh karena itu sebagai wujud cinta kita maka sudah sepantasnya kita taat. Bila kita diharamkan akan sesuatu maka kita jauhi, dila diperintahkan kita ikuti, dan perkara syubhat (samar-samar) hendaknya kita tinggalkan agar lebih selamat. Daripada kita bergelut dng bid’ah, kenapa kita tidak perbanyak sunnah? Sungguh, masih banyak sunnah yg kita lupakan dan lalaikan. Dan betapa besar keuntungan dan keutamaan yg kita peroleh jika menegakkannya, ditambah lagi akan lebih selamat insya Allah. Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanadnya dalam Sunan Ibni majah dalam bab: “Barangsiapa yg menghidupkan Sunnah yg telah mati, dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani dengan berbagai penguatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “barangsiapa yg menghidupkan satu sunnah dari sunnahku, sehingga para manusia mengamalkannya, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala yg mengamalkannya, tiada berkurang sedikit pun pahala mereka.”

Pada akhirnya, saya memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menguatkan hatiku untuk tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman salafus shalih. Saya ingin tetap mengikuti para ulama yg hafalan dan ilmunya insya Allah terbukti dan tetap berpegang teguh pada jalan yang ditempuh oleh pendahulunya, menegakkan tauhid dan memberantas bid’ah dan kemungkaran. Karena merekalah pewaris para Nabi dan sebagaimana Al-Imam Az-Zuhri rahimahullah berkata: Ulama kita yang terdahulu selalu mengatakan: “Berpegang dengan Sunnah adalah keselamatan. Ilmu itu tercabut dengan segera, maka tegaknya ilmu adalah kekokohan Islam sedangkan dengan perginya para ulama akan hilang pula semua itu (ilmu dan agama).” (Al-Lalikai 1/94 no. 136 dan Ad-Darimi, 1/58 no. 16)

Oleh karena itu, smoga kita slalu berpegang teguh dengan Sunnah. Dan kita waspada dan tidak salah paham lagi akan bid’ah. Seperti ada yg menganggap bahwa pengeras suara ketika sholat itu bid’ah (atau disebut bid’ah hasanah). Hal ini sama sekali bukanlah bid’ah, alasannya bahwa bid’ah itu adalah dalam masalah-masalah ibadah yg tidak ada ada dasarnya, bukan dalam masalah-masalah yang non ibadah. Jadi, tradisi itu lingkupnya luas, sementara tradisi itu tidak termasuk dalam hal ini ( (bid’ah atau bukan bid’ah). Namun sebagian orang terperdaya sehingga mengingkari setiap hal yg baru dan mengategorikannya sebagai bid’ah. Sama seperti yang menganggap pengeras suara itu bid’ah, itu adalah pandangan yg salah, karena pengeras suara itu hanyalah peralatan yg dianugerahkan Allah dan dimudahkan, yang mana alat ini mengandung manfaat yg besar karena bisa mengeraskan suara dan mengantarkannya ke tempat-tempat yg jauh (Al-Bida’ wal Muhdatsat til Aqa’id, Syaikh ibnu Jibrin).

Semoga bermanfaat bagi kita semua, afwan jiddan.

Wallahu Ta’ala a’lam

Foot Note:

  1. Atsar (riwayat) dari Ibnu Abidin dalam Al-asyiyah (1/63) dan dalam risalah Rasmul Mufti (1/4) dari Majmu’ Rasail Ibnu Abidin.
  2. Atsar (riwayat) Ibnu Abdil Barr dalam Al-jami’ (2/32), dan yg lainnya.
  3. Penisbatan perkataan ini kepada Imam malik, itulah yg popular di kalangan org2 muta ‘akhirin. Perkataan ini diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Al-jami’ dan Ibnu Hazm dalam Ushulul Ahkam.
  4. Pendahuluan Al-Jarh wa At-Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim hal. 31-32.
  5. Al-hakim telah meriwayatkan perkataan ini dng sanad yg bersambung kpd Imam Asy-Syafi’i. Hal itu sebagaimana yg disebutkan dalam Tarikh Dimasyqi karya Ibnu Asakir, I’lamul Muwaqi’in dan Al-Iqadh.
  6. Ibnul Qayyim (2/361) dan Al-Fulani (hal. 68).
  7. Al-Harawi dalam Dzamul Kalam, Al-Khaththib dalam Al-Ihtijaju bis Sunnah Asy-Syafi’i, Ibnu Asakir, An-Nawawi dalam Al-Majmu’, Ibnul Qayyim dan Al-Fulani. Riwayat lainnya adalah riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dng sanad yg shahih dari beliau dng riwayat yg seperti itu.
  8. An-Nawawi dalam sumber yg telah disebutkan di atas dan Sya’rani. Beliau menisbatkan perkataan ini kepada Al-Hakim, Al-Baihaqi dan Al-Fulani. Sya’rani berkata: “Ibnu Hazm berkata: “Riwayat ini shahih, menurut beliau atau menurut imam-imam lainnya.”

Syaikh Al-Albani katakan: “perkataan ini begitu jelas mengandung makna ini. An-nawawi rahimahullah menyatakan secara ringkas sebagai berikut: “shahabat-shahabat kami (dari kalangan madzhab Syafi’i) telah mengamalkan hadits ini dalam masalah tatswib (ucapan: Ashalatu khairum Minan Naum pada adzan Shubuh), dan perihal disyariatkannya bertahallul dari Ihram krn sakit atau masalah-masalah lainnya sebagaimana yg telah dikenal dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i. Di antara shahabat kami (dari kalangan ulama Syafi’i) yg dikisahkan bahwa mereka berfatwa dng hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (walaupun konsekuensinya ia harus menyelisihi madzhabnya) adalah Abul Ya’qub Al-Buyithi dan Abul Qasim Ad-Dariki. Dan shahabat-shahabat kami dari kalangan ahli hadits yg juga menggunakan pola yg sama (yakni berfatwa dng hadits) adalah Imam Abu Bakar Al-Baihaqi dan ulama lainnya.

9. Perkataan ini ditujukan kepada Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Riwayat ini dinukil oleh Ibnu Abi Hatim dalam Adabu Asy-Syafi’I, dan yg lainnya.
10. Abu Nu’aim, Al-harawi, Ibnul Qayyim dan Al-Fulani.
11. Ibnu Abi hatim, Abu Nu’aim dan Ibnu Asakir dng sanad shahih.
12. Ibnu Abi Hatim.
13. Ibnul jauzi dalam Al-Manaqib.
14. Al-Fulani dan Ibnul Qayyim.
15. Abu Dawud dalam Masa’il Imam Ahmad.
16. Ibnu Abdil Barr dalam Al-Jami’.
17. Ibnul Jauzi.

Sumber rujukan:

  1. Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dari Takbir hingga Salam karya Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani; penerbit Pustaka Sumayah.
  2. Al-Bida’ wal Muhdatsat wama La Ashla Lahu. Judul terjemahan: Ensiklopedia Bid’ah; Kumpulan Fatwa: Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Lajnah Daimah Lil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta’ (Dewan Pertimbangan Fatwa Saudi Arabia), Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penyusun: Hammud bin Abdullah al-Mathar; penerbit Darul Haq.
  3. judul terjemahan: “100 Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang sering diremehkan” karya Haifa Abdullah Ar-Rasyid. Penerbit: Zam-Zam.

Sumber..

Nur-muslim.blogspot.com

Tinggalkan komentar

Abu Muhammad

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ. “Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in).”[Muttafaq alaih] HR. Al-Bukhari (no. 2652) dan Muslim (no. 2533 (212)), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu.

Perhimpunan Umat Islam -(PUMI)-

menghimpun kekuatan untuk kemenangan

Point Fadh

Berbagi Pengetahuan Itu Indah

ILMU DAKWAH DAN JIHAD

IbnuAbdulloohAzis@ymail.com