Tag Archives: Aqidah
Taut

Bukti kegigihan Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam menjaga Tauhid

6 Mar
للهــــم آميـــــن

للهــــم آميـــــن (Photo credit: ukhti27)

 

بسم الله الرحمن الرحيم

 Rasulullah  صلى الله عليه وسلم sungguh bersemangat selama hidupnya sebagai Rasul untuk mengabadikan dua pokok tauhid itu: Laa ilaaha illallaah, Muhammadur Rasuulullaah. Agar keduanya tetap bersih lagi jernih, maka beliau sama sekali tidak membolehkkan pengotoran dua pokok tauhid ini., walaupun terhadap orang yang paling dicintai dan paling terkesan baginya.

Bukti-buktinya;

  • A. Beliau pada suatu hari melihat di tangan Umar bin Khathab ra ada selembar kertas (waraqah) dari Taurat, dan Umar telah mengagumi apa yang ada di dalamnya, maka Rasulullah   صلى الله عليه وسلم marah dengan kemarahan yang keras, dan beliau berkata:

“Apa (apaan) ini! Sedangkan aku ada di belakang kalian. Sungguh telah aku bawakan dia (pengganti Taurat) dengan keadaan putih lagi suci… Demi Allah seandainya Musa  hidup (sekarang ini) pasti dia tidak ada kelonggarannya kecuali dia harus mengikutiku.” (Sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya 3/387, dan Al-Baihaqi dalam Syu’bul Iman, dan Ad-Darimi 1/115-116)

Dalam Hadits itu terdapat pengertian sebagai berikut:

Pertama: Rasulullah  صلى الله عليه وسلم  heran adanya orang yang mulai mencari petunjuk kepada selain Al-Quran dan As-Sunnah sedangkan beliau masih hidup. Termasuk tuntutan iman kepada Al-Quran dan As-Sunnah adalah meyakini bahwa petunjuk itu adanya hanyalah pada keduanya (Al-Quran dan As-Sunnah) itu.

 Kedua: Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah membawa agama yang suci murni, tidak dikaburkan oleh pembuat kekaburan berupa perubahan, penggantian, atau penyelewengan. Sedang para sahabat menerima agama Islam itu dengan wungkul (utuh) dan murni. Maka bagaimana mereka akan berpaling darinya dan mencari petunjuk kepada hal-hal yang menyerupai penyelewengan, penggantian, dan penambahan serta pengurangan.

 Ketiga: Bahwa Nabi Musa as sendiri yang dituruni Kitab Taurat seandainya dia masih hidup pasti dia wajib mengikuti Rasul صلى الله عليه وسلم, dan meninggalkan syari’at yang telah dia sampaikan kepada manusia.

Hadits ini adalah pokok mengenai penjelasan manhaj (pola) Al-Quran dan As-Sunnah. Tidak boleh seorangpun mencari petunjuk -untuk mengetahui bagaimana cara mendekatkan diri pada Allah dan memperbaiki diri- kepada ajaran yang tidak dibawa oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم

  • B. Dalil yang kedua bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم mendengar khathib yang berkhutbah di hadapan beliau, di antaranya ia berkata: “ Barangsiapa taat pada Allah dan rasulNya maka sungguh ia telah mendapat petunjuk, dan barangsiapa bermaksiat kepada keduanya  (waman ya’shihimaa)  maka sungguh dia telah sesat.”  Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم berkata padanya:

“Seburuk-buruk khathib kaum adalah kamu. Katakanlah: Barangsiapa bermaksiat pada Allah dan rasulNya maka sungguh dia telah sesat.” (HR Muslim 6/159-di Syarah An-Nawawi, dan Ahmad 4/256 dan 379).

Khatib ini telah memotong lafal “Rasulullah صلى الله عليه وسلم ” (tidak diucapkan tetapi diganti dengan dhamir/ kata ganti dan digandengkan dengan  ALLAH سبحنحا و تعال   ). Maka beliau mencelanya di depan orang banyak, karena khatib itu mengumpulkan antara Allah dan rasulNya dalam satu kataganti “waman ya’shihimaa” lalu Rasul صلى الله عليه وسلم   menyuruhnya untuk mengulangi penyebutan nama yang jelas bagi Allah dan bagi rasulNya, sehingga tidak akan dikira walau dari jauh bahwa kedudukan Rasul seperti kedudukan  ALLAH سبحنحا و تعال . Semangat Rasul صلى الله عليه وسلم ini adalah dalil atas wajibnya menjaga ketauhidan Allah Ta’ala dengan penjagaan yang sempurna, dan kewajiban membedakan dengan sempurna antara hal yang wajib untuk  ALLAH سبحنحا و تعال     dan yang wajib untuk RasulNya صلى الله عليه وسلم

  • C. Dalil ketiga: Bahwa Utsman bin Madh`un ra, seorang sahabat pilihan, ketika wafat, sedang Rasul صلى الله عليه وسلم hadir di sisinya dan mendengar seorang sahabat besar perempuan, Ummu Al-`Ala`, berkata: “Kesaksianku atasmu Abu  As-Saib (Utsman bin Madh`un), bahwa Allah sungguh telah memuliakanmu.” Maka Rasul صلى الله عليه وسلم membantahnya dengan berkata:

“Tahukah kamu bahwa Allah sungguh telah memuliakannya?”

Ini adalah peringatan yang besar dari Rasul صلى الله عليه وسلم kepada sahabat wanita ini karena dia telah menetapkan hukum dengan hukum yang menyangkut kegaiban. Ini tidak boleh, karena tidak ada yang menjangkau hal gaib kecuali ALLAH سبحنحا و تعال. Tetapi Shahabiyah (sahabat wanita) ini membalas dengan berkata: “Subhanallah, ya Rasulallah!! Siapa (lagi) kah yang akan Allah muliakan kalau Dia tidak  memuliakannya?” Artinya, jika Utsman bin Madh`un ra tidak termasuk orang yang dimuliakan ALLAH سبحنحا و تعال , maka siapa lagi yang masih tersisa pada kita yang akan dimuliakan ALLAH سبحنحا و تعال. Ini jawaban yang sangat mengena dan signifikan/ cukup bermakna. Tetapi Rasul صلى الله عليه وسلم menolaknya dengan ucapan yang lebih mengena dari itu, di mana beliau bersabda:

“Demi Allah, saya ini benar-benar utusan Allah, (tetapi) saya tidak tahu apa yang Dia perbuat padaku esok.”  Ini adalah puncak perkara. Rasul sendiri yang dia itu orang yang dirahmati dan disalami oleh Allah , beliau wajib berhati-hati dan mengharap rahmat Allah. Dan disinilah Ummu Al`Ala` sampai pada hakekat syara` yang besar, maka dia berkata: “Demi Allah, setelah ini saya tidak akan menganggap suci terhadap seorangpun salama-lamanya.” (Diiwayatkan Al-Bukhari 3/385, 6/223 dan 224, 8/266 dari Fathul Bari, dan Ahmad 6/436 dari Ummi Al`Ala` Al-Anshariyah binahwihi).

Pokok yang ini ditetapkan dalam syari’at pada ayat-ayat dan hadits-hadits yang banyak. Di antaranya firman Allah ALLAH سبحنحا و تعال:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih. Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendakiNya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.

Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka).” (An-Nisaa`/ 4:49-50).  

“(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan dia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.”  (An-Nisaa’/ 123).

  • D. Dalil keempat: Bahwa seorang lelaki datang kepada Rasul صلى الله عليه وسلم dan berkata:

“Apa yang Allah kehendaki dan engkau kehendaki.” Maka Rasul صلى الله عليه وسلم bersabda:

“Apakah kamu menjadikan aku sebagai tandingan bagi Allah? Katakanlah: “Apa yang Allah kehendaki sendiri.” (HR Ahmad 1/214,224,283,347, Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad 783 dan selain keduanya.)

Rasul صلى الله عليه وسلم telah menjadikan kehendak itu bagi Allah sendiri, sehingga mengajarkannya kepada mukminin bahwa tiada kemauan seorangpun yang bersama kemauan   ALLAH سبحنحا و تعال

Kutipan

Beda Ahlus Sunnah dengan Salafi”

6 Mar
The first four verses (ayat) of Al-Alaq, the 9...

The first four verses (ayat) of Al-Alaq, the 96th chapter (surah) of the Qur’an. Egyptian Calligraphy of the first lines of Sura al-Alaq. Bahasa Indonesia: Kaligrafi surah al-‘Alaq ayat 1 sampai 4 yang berasal dari Mesir. (Photo credit: Wikipedia)

English: A green version of http://commons.wik...

English: A green version of http://commons.wikimedia.org/wiki/Image:Allah-eser2.jpg (Photo credit: Wikipedia)

Beda Ahlus Sunnah dengan Salafi”   

Bismillahirrohmanirrohiim

Mengingat kelompok murji’ah berbaju “salafi” semakin berkembang di negeri Indonesia, maka kita patut waspada agar virus murji’ah ini tidak menyebar dikalangan kaum muslimin. Dengan mengetahui ciri-ciri mereka dan mengetahui perbedaan Ahlus Sunnah dengan “Salafi” diharapkan kita tidak tertipu dengan ucapan mereka yang mengklaim dirinya ahlus sunnah, namun pada hakekatnya mereka adalah murji’ah disadari maupun tanpa mereka sadari. Berikut penjelasannya…

Pertama, perbedaan inti ahlus sunnah dengan salafi adalah ahlus sunnah menyakini bahwa seseorang bisa kafir karena hati, ucapan, maupun perbuatannya dan ahlussunnah menghukumi kafir seseorang berdasarkan dhohir ucapan dan perbuatan seseorang. Hal ini berdasarkan surat at taubah ayat ke 65-66 yang yang mana Alloh mengkafirkan sekelompok orang yang menghina Rosululloh dan para sahabatnya. Sedangkan salafi menghukumi kafir seseorang berdasarkan hatinya, kalo ada seseorang yang mengucapkan dan mengamalkan perbuatan kufur maka salafi belum berani mengkafirkannya sebelum mengetahui isi hatinya.

Kedua, ahlus sunnah meyakini hilangnya amalan menjadikan hilangnya iman, dan iman itu tidak hilang dengan hilangnya sebagian amal sebagaimana yang dinyatakan oleh khowarij dan mu’tazilah. Sedangkan salafi meyakini bahwa jenis amalan itu termasuk kesempurnaan iman, bukan rukun daripada rukun-rukun iman sebagaimana yang dinyatakan oleh ahlus sunnah. Oleh karena itu, tatkala mereka merealisasikan prinsip ini pada zaman sekarang, maka orang yang melanggar syari’at secara keseluruhan dan berhukum dengan undang-undang orang kafir serta memerangi orang yang menyeru untuk berhukum kepada syari’at islam tidaklah menjadi kafir, tapi hanya mengurangi kesempurnaan iman.

Ketiga, ahlus sunnah meyakini bahwa iman itu Tasdiq (membenarkan) dan amal (mengerjakan), dan kekafiran itu disebabkan karena Takdzib (mendustakan) dan yang lainnya, seperti berpaling dari ketaatan dan meninggalkan amal secara keseluruhan. Menurut sebagian dari ahlus sunnah berpendapat bahwa meninggalkan sholat menduduki posisi meninggalkan amal secara keseluruhan. Sedangkan salafi meyakini iman itu tidak hilang dengan hilangnya seluruh amal, karena kekafiran itu disebabkan karena mendustakan (syari’at), dan karena iman itu bermakna “At Tashdiq” (membenarkan) maka lawan katanya adalah “At Takdzib” (mendustakan), bukan yang lainnya. Jadi, jangan heran ketika penguasa yang berpaling dari syari’at islam mereka masih menganggapnya sebagai muslim,  karena menurut salafi kekafiran itu bila disebabkan oleh pendustaan terhadap syari’at.

Keempat, ahlus sunnah menganggap orang muslim yang menyekutukan Alloh berarti dia menjadi musyrik walaupun belum tegak hujjah atasnya, dan kafir apabila sudah tegak hujjah, sedangkan salafi meyakini orang yang menyekutukan Alloh itu masih muslim jika belum tegak hujjah atasnya, musyrik hanya perbuatannya sedangkan orangnya masih muslim. Hal ini karena salafi tidak bisa membedakan kapan seseorang dikatakan musyrik secara bahasa dengan musyrik secara maknawi. Jadi menurut salafi kalo dia tidak muslim berarti ya musyrik atau kafir yang berarti kekal di neraka. Sedangkan menurut ahlus sunnah orang musyrik itu ada yang langsung diadzab dan kekal di neraka dan ada orang musyrik yang diakherat diuji atau terserah atas kehendak Alloh apabila orang ini tidak mempunyai tamakkun (kesempatan) untuk mencari kebenaran.

Kelima, ahlus sunnah dalam membahas masalah syirik secara menyeluruh yang meliputi pembahasan syirik kubur dan syirik dustur, sedangkan salafi hanya membahas masalah syirik kubur sedangkan syirik dustur tidak pernah bibahas, kalaupun dibahas hanya sekilas tentang kewajiban berhukum dengan hukum Alloh, dan itu pun ujung-ujungnya kembali ke hati.  Dan jangan heran kalo ada orang yang menghina Alloh dan Rosulnya dengan membuat hukum yang menandingi hukum Alloh salafi masih menganggapnya sebagai muslim, ya karena menurut mereka selama tidak meyakini bolehnya membuat hukum selain hukum Alloh ya berarti mereka muslim.

Keenam, ahlus sunnah membedakan antara takfir nau’ dan takfir muayyan khusus dalam masalah-masalah yang khofi (samar) seperti fitnah al qur’an makhluk,  jadi kalo ada seseorang yang mengatakan al qur’an itu makhluk maka dia tidak langsung dihukumi kafir selama belum tegak hujjah (takfir nau’) adapun setelah tegak hujjah maka dia dihukumi kafir (takfir mu’ayyan). Sedangkan salafi  membedakan antara takfir nau’ dan takfir mu’ayyan dalam masalah yang khofi juga dalam masalah-masalah yang dhohir (jelas), maka tidak heran ketika mereka mendapati orang yang “menginjak-nginjak” al Qur’an dengan sengaja mereka masih saja ragu untuk mengkafirkannya.

Ketujuh, ahlus sunnah membedakan bom bunuh diri dengan bom amaliyah jihadiyyah dan membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu. Hal ini merupakan siasat perang modern untuk membunuh sebanyak-banyaknya musuh dan menggentarkan hati-hati mereka, sedangkan salafi mengharamkannya secara mutlak, bagi mereka semua orang yang melakukan amalan ini berarti mati konyol. Ini akibat mereka tidak paham fiqul waqi’ sehingga menggunakan dalil tidak pada tempatnya. Seperti hadist yang berkaitan dengan orang yang bunuh diri karena frustasi dipakai untuk menyerang mujahidin yang melakukan amaliyyah “bom bunuh diri” untuk tujuan jihad, tentu ini sangat jauh berbedaannya.

Kedelapan, ahlus sunnah membedakan antara keputusan tertentu dengan keputusan yang dinilai sebagai peletakan hukum umum. Ahlussunnah meyakini kufur asghar hanya berlaku bagi penguasa  yang melanggar keputusan tertentu dalam keadaan dia menjalankan syari’at islam, dan kufur akbar bagi penguasa yang tidak mau atau enggan menerapkan syari’at islam. Sedangkan salafi tidak membedakan antara keduanya, hukum kufur akbar hanya berlaku bagi penguasa yang mengingkari kewajiban menerapkan syari’at islam. Jadi dalam masalah ini salafi meniadakan kufur amali.

Kesembilan, ahlus sunnah membedakan antara tegak hujjah dengan paham hujjah dalam masalah-masalah yang dhohiroh. Adanya al qur’an di tengah-tengah kaum muslimin, maka ini berarti hujjah telah tegak hujjah bagi mereka adapun paham hujjah maka  maka diserahkan kepada individu masing-masing apakah mau memahaminya atau tidak. Sedangkan salafi tidak membedakan antara tegak hujjah dengan paham hujjah, dan jangan heran kalo ada pemerintahan yang melakukan kesyirikan atau kekufuran yang nyata seperti pemerintah yang menerapkan hukum demokrasi, melegalkan bank-bank ribawi, melegalkan prostitusi, dll masih mereka anggap sebagai pemerintahan islam, bahkan menjadikan ulil amri yang harus dita’ati karena menurut salafi  hujjah belum tegak atas mereka, namun anehnya bukannya menegakkan hujjah kepada penguasa tapi salafi malah menjilat dihadapan penguasa.

Kesepuluh, ahlus sunnah meyakini sayyid quthb, syaikh abdulloh azzam, syaikh salman al audah, syaikh safar al halawi, syaikh al maqdisi dll termasuk ulama dari kalangan ahlus sunnah yangperkataannya bisa diterima dan ditolak, begitu juga dengan syaikh al albani, syaikh ibnu baz, dan syaikh utsaimin mereka juga termasuk ulama ahlus sunnah yang kadang kala benar dan salah, sehingga ahlus sunnah menempatkan mereka secara proporsional. Sedangkan salafi, ulama mereka hanyalah syaikh al albani, syaikh ibnu baz dan syaikh utsaimin dan ulama yang menjadi murid-murid mereka sedangkan selain mereka dianggap sebagai ahlul bid’ah, khawarij, takfiri, teroris, dll, sehingga tidak heran ketika mereka menganggap sesat orang yang tidak sepaham dengan syaikh mereka.

Kesebelas, ahlus sunnah berkasih sayang dan berlemah lembut kepada orang mukmin dan bersikap keras terhadap orang kafir dan munafikin. Sedangkan salafi berkasih sayang dengan orang-orang kafir dan munafikin dan bersikap keras terhadap kaum muslimin. Hal ini terlihat jelas dari amalan mereka, lihatlah ketika ada sekelompok kaum muslimin yang ingin menerapkan syari’at islam mereka langsung mengatakan “mereka adalah teroris” sedangkan orang-orang kafir dan musyrik dari kalangan thogut dan anshornya mereka membelanya habis-habisan, bahkan mereka ikut membantu mereka dalam menyerang mujahidin. Memang benar ungkapan “ salafi adalah murji’ah terhadap penguasa, dan khawarij terhadap kaum muslimin”. Dan salafi (baca: murji’ah) itu selalu bersama para penguasa. Inna Lillaahi wa Inna Ilaihi rooji’un…

Kedua belas, ahlus sunnah meyakini bahwa negara yang tidak berhukum dengan hukum Alloh maka disebut negara kafir dan insya Alloh ini yang mendekati kebenaran dari pendapat beberapa ulama seperti pendapat Imam Asy Syarkhasi,  Al qadhi Abu Ya’la Al Hanbali dan Ibnu Qayyim dan ulama lainnya yang menyatakan negara islam adalah negara yang diberlakukannya hukum islam atau minimal negara tersebut diantara keduanya seperti pendapat syaikul islam ibnu taimiyyah. Sedangkan salafi meyakini bahwa selama negara membolehkan mengumandangkan adzan dan sholat berjama’ah maka negara tersebut negara islam walaupun negeri tersebut penuh dengan kekufuran dan kemusyrikan.

Ketiga belas, ahlus sunnah menganggap bahwa mengetahui fiqih waqi’ merupakan hal yang cukup penting bagi kaum muslimin guna menghadapi makar-makar yang akan dilakukan kaum kuffar terhadap islam. Sedangkan salafi menetapkan bahwa fiqih waqi’ itu merupakan kekhususan pagi para pemimpin, maka mereka meremehkan dan membodohkan orang-orang yang menyibukkan diri dalam mempelajari fiqih waqi’ tersebut. Dan tidaklah perisai ini mereka pakai kecuali hanya untuk menutupi kebodohan dan dengan apa yang terjadi di sekitar mereka serta untuk merintangi jihadnya kaum muslimin.

Keempat belas, ahlus sunnah meyakini bahwa jihad pada hari ini termasuk jihad fie sabilillah dan akan berlangsung sampai hari kiamat, walaupun tidak adanya kholifah atau ulil amri. Sedangkan salafi meyakini jihad harus bersama ulil amri dan mereka pun menganggap jihad pada hari ini adalah batil dan termasuk bunuh diri, dan orang yang mati syahid di negeri Islam pada hari ini  adalah bunuh diri. Dan kebodohan salafi adalah mereka tidak mau berjihad sampai “ulil amri” nya memerintahkan jihad, tentu ini tidak mungkin, karena tidak ada istilah jihad dalam negara sekuler walaupun negara kita memerintahkan “jihad” tentu bukan untuk membela ISLAM tapi untuk mempertahankan NKRI.

Kelima belas, ahlus sunnah meyakini bahwa khawarij adalah kelompok yang meyakini orang lain telah kafir dikarenakan kemaksiatan yang ia lakukan, dan keluar kepada penguasa muslim dengan pedang (memberontak). Sedangkan salafi, menganggap siapa saja yang mengingkari dengan lisan atas kemungkaran yang dilakukan oleh imam maka dia khowarij. Adapun ahlus sunnah memandang mengingkari imam dengan lisan saja, tanpa mengkafirkan kaum muslimin atau meyakini orang tadi kekal di dalam neraka disebabkan perbuatan dosa besar yang ia lakukan atau karena keluar kepada penguasa dengan pedang, maka orang yang seperti ini tidaklah disebut khowarij.

Keenam belas, ahlus sunnah memandang bolehnya menasehati penguasa secara terang-terangan apabila kemungkaran yang dilakukan penguasa juga terang-terangan, seperti seorang wanita yang memprotes khalifah Umar ketika khutbah dimimbar yang hendak membatasi Mahar sebanyak 400 dirham. Juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bersama umat Islam lainnya menuju istana Sultan Ibnu Ghazan untuk menentang kebijakan dan rencana jahatnya bersama Raja Al Karaj untuk menyerang kaum muslimin Damaskus. Inilah yang orang sekarang bilang demonstrasi. Sedangkan salafi mengharamkan menasehati penguasa secara terang-terangan dan menganggap orang yang melakukan hal tersebut sebagai khawarij.

Ketujuh belas, ahlus sunnah meyakini bahwa tidak setiap pemberontakan kepada penguasa disebut khawarij, seperti pemberontakan Muawiyah Khalifah Ali bin Abi Thalib juga pemberontakan Khilafah Bani Abbassiyyah terhadap Khilafah Bani Umayyah. Sedangkan menurut salafi, siapa saja yang memberontak kepada penguasa yang sah, itulah Khawarij. Paham seperti ini yang dimanfaatkan thoghut untuk menyerang mujahidin dengan menuduh mujahidin sebagai khawarij anjing-anjing neraka yang darahnya halal untuk ditumpahkan.

Kedelapan belas, ahlus sunnah meyakini bahwa kufur kepada thoghut harus diaplikasikan dengan baro’ kepada pelakunya. Sedangkan salafi kufur kepada thoghut hanya dilisan semata, ketika mereka diseru untuk kufur kepada thoghut mereka mengingkarinya karena menurut mereka penguasa saat ini bukan thoghut. Menurut salafi hanya sistemnya yang thoghut tapi orang yang menjalankan sistem thoghut belum bisa disebut thogut karena mereka masih sholat. Adapun ahlussunnah meyakini bahwa siapa saja yang menjalankan sistem thoghut secara langsung dengan tanpa paksaan maka dia secara otomatis disebut thoghut.

Kesembilan belas, ahlus sunnah meyakini bahwa untuk menegakkan syari’at islam pada saat ini harus dengan Ilmu dakwah dan jihad. Sedangkan salafi mempunyai prinsip untuk menegakkan syariat islam cukup dengan tasfiyah dan tarbiyah semata dan jihad yang paling afdhol pada saat sekarang ini adalah jihad melawan hawa nafsu karena jihad qital menurut mereka hanya bisa dilaksanakan harus bersama ulil amri. Sedangkan kita tahu bahwa ulil amrinya salafi adalah orang sekuler, sehingga mana mungkin ulil amri ini akan memperintahkan jihad..??

Kedua puluh, ahlus sunnah mengharamkan ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum karena pemilihan umum pada hakekatnya adalah memilih “tuhan” yang akan menandingi Alloh dalam hal pembuatan hukum (tasyri’) yang ini merupakan hak khusus bagi Alloh. Sedangkan sebagian salafi ada yang membolehkan nyoblos (baca: memilih arbab) dengan alasan memilih calon pemimpin atau wakil rakyat yang terbaik guna kemaslahatan kaum muslimin. Salafi tidak peduli hakekat dari pemilihan umum tersebut.

Kedua puluh satu, ahlus sunnah meyakini bahwa takfir kepada orang tertentu (takfir muayyan) dalam masalah-masalah dhohiroh kepada orang yang melakukan kesyirikan dan kekufuran yang nyata merupakan hak setiap kaum muslimin yang paham tauhid, tentu apabila syarat-syaratnya sudah terpenuhi. Sedangkan takfir muayyan dalam masalah-masalah yang khofiyah maka hal ini diserahkan kepada ulama atau hakim ahlul ijtihad karena masalah khofiyah perlu penegakkan hujjah oleh seorang ahli sebelum dikafirkan. Sedangkan salafi meyakini bahwa takfir muayyan adalah hak khusus ulama, sehingga salafi merupakan sekte jama’ah yang anti takfir muayyan.

Sebenarnya masih banyak perbedaan antara ahlus sunnah dengan “salafi” (baca: murji’ah berbaju salafi), namun saya kira penjelasan diatas sudah mencukupi. Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan bermanfaat bagi pembaca. Saran dan kritik yang membangun sangat saya harapkan.

Wallohu a’lam.

IbnuAbdullooh@

Sumber..nur-muslim.blogspot.com

Kutipan

BAHAYA Istihza !!!!!!! Memperolok Syariat)

5 Mar
The Mosque of the Prophet Mohammed (peace be u...

The Mosque of the Prophet Mohammed (peace be upon him) | المدينة المنورة (Photo credit: Hossam all line)

BAHAYA Istihza !!!!!!! Memperolok Syariat)

Bismillahirrohmanirrohiim

Ada orang berkata :

“habis jenuh juga sih dengan segala promosi ke-Arab-an gaya orang2 fundies (model brother ……). kemaren saya lihat di TV orang2 yang mengklaim mu’min dengan atribut abad ke-7 mereka (ya ampuun.. ada yang masih primitif di abad 21 ini!! ) pake ubel2 , celana ngatung , jenggot panjang , jidat hitem (maksudnya mau aplikasi QS 48:29) dan…… siwak yang penuh dengan bakteri! ..hiyyyy”

 Seringkali didapatkan sebagian muslim mengatakan pada sebagian yang lain yang menjalankan sunnah memelihara jenggot dengan ”jenggot kambing”, atau orang yang menaikkan batas celananya di atas mata kaki dengan ”kebanjiran”. Apa hukum Islam dalam hal ini ?

-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-

Aneh memang keadaan kaum muslimin sekarang ini.  Dan patutlah kalau kaum muslimin saat ini dikatakan mundur dan telah hilang ‘izzah-nya di hadapan kaumkuffar.  Sulit dibayangkan memang bahwa perkataan di atas muncul dari mulut kaum muslimin. Inilah yang dinamakan istihzaa’ atau sukhriyah (mengolok-olok) syari’at dan ahlinya.

Dan orang yang telah tertipu dengan manhaj Liberal dan manhaj Aqlaniy – manhaj-nya kaum Orientalis – , maka mereka tidak akan merasa “puas” sebelum kita ikut makan babi, bercelana pendek setengah paha, membuka hijab bagi para akhwat, menenteng rokok dan khamr, berpraktek riba, meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta mencintai segala produk budaya kaum kuffar.

Ikhwah fillaah,.. Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa sikap istihzaa’/sukhriyahadalah salah satu pokok sifat yang dimiliki oleh orang kafir, sebagaimana firman-Nya :

زُيِّنَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَيَسْخَرُونَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ اتَّقَوْا فَوْقَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman.  Padahal, orang-orang yang bertaqwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat.  Dan Allah memberi rizki kepada orang-orang yang dikehendaki tanpa batas” [QS. Al-Baqarah : 212].

يَا حَسْرَةً عَلَى الْعِبَادِ مَا يَأْتِيهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ

“Alangkah besarnya penyesalan hamba-hamba itu. Tidak datang seorang Rasul-pun kepada mereka melainkan mereka selalu mengolok-oloknya” [QS. Yaasiin : 30].

Mengenai hukum syar’i istihzaa’ dan sukhriyah terhadap muslimin ini terdiri dari dua :

1.    Istihzaa’/sukhriyah karena cacat pembawaan; seperti pendek, pincang, buta, gagap, dungu, dan lain-lain.  Serta istihzaa’/sukhriyah terhadap kelakuan jelek seperti cepat marah atau bodoh.  Hukum istihzaa’/sukhriyah jenis ini adalah haram, dan termasuk dosa besar.  Allah ta’ala memperingatkan hamba-Nya agar jangan terjatuh ke dalam perbuatan ini.  Balasan perbuatan ini adalah adzab yang pedih.  Oleh karena itu Allah ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah satu kaum mengolok-olok kaum yang lain.  Boleh jadi mereka yang diolok-olok lebih baik daripada mereka yang mengolok-olok.  Dan jangan pula perempuan-perempuan mengolok-olok perempuan-perempuan yang lain.  Boleh jadi, perempuan yang diolok-olok lebih baik daripada perempuan yang mengolok.   Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri. Dan janganlah kamu memanggil dengan gelar yang buruk.  Seburuk-buruk panggilan adalah panggilan buruk setelah beriman.  Dan barangsiapa tidak bertaubat, mereka itulah orang-orang yang dhalim” [QS. Al-Hujuraat : 11].

Barangsiapa yang terjerumus ke dalam perbuatan ini, harus berhenti, dan bertaubat dengan taubat yang benar.  Kemudian berniat untuk tidak mengulanginya.

2.   Istihzaa’ terhadap kaum mukminin justru karena ketaatannya kepada hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam; seperti mengolok-olok orang yang memelihara shalatnya, atau mengolok-olok orang yang menganjurkan taat kepada Allah, atau yang memanjangkan jenggotnya, atau memendekkan pakaian di atas mata kaki karena ingin mengikuti Rasul-Nyashallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Hukum istihzaa’/sukhriyah jenis kedua ini sangat keras/tegas.  “Kerasnya” hukum ini tentu saja karena secara tidak langsung ia mengolok-olok syari’at Islam dan Sunnah Rasul.  Dalam hal ini, ada dua keadaan.

Pertama, orang yang melakukan istihzaa’/sukhriyah tersebut tidak mengetahui bahwa yang ia olok-olok itu adalah syariat Islam, seperti dalam hal tidak isbal(memendekkan celana/pakaian di atas mata kaki).  Ia melakukannya lebih tertuju pada individu pelakunya yang dirasakan aneh, lucu, dan ‘tidak lazim’. Jadi, ia tidak berniat mengolok-olok syari’atnya itu sendiri. Hukumnya dalam hal ini adalah haram, dosa besar.

Kedua, orang tersebut melakukannya karena orang yang diolok-olok tersebut menjalankan kewajiban atau Sunnah Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka dalam hal ini dia murtad dan menjadi kafir tulen berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’. Allah ta’ala berfirman :

يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَنْ تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُمْ بِمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلِ اسْتَهْزِئُوا إِنَّ اللَّهَ مُخْرِجٌ مَا تَحْذَرُونَ

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ

لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ

Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan kepada mereka suatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka.  Katakanlah kepada mereka : “Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)”.  Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu.  Dan jika kamu tanyakan kepada mereka  (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab : “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda-gurau dan bermain-main saja”.  Katakanlah : “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu mengolok-olok?.  Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu kafir setelah beriman. Jika Kami maafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka bertaubat), niscaya Kami mengadzab golongan (yang lain), karena mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa” [QS. At-Taubah : 64-66].

Ath-Thabariy dan Ibni Abi Haatim meriwayatkan dengan sanad laa ba’sa bihi, Abdullah bin Umar radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata :

قال رجل في غزوة تبوك، في مجلس: ما رأينا مثل قرائنا هؤلاء؛ أرغب بطونا، ولا أكذب ألسنا، ولا أجبن عند اللقاء. فقال رجل في المجلس: كذبت، ولكنك منافق، لأخبرن رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ ، فبلغ ذلك النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ ونزل القرآن. قال عبد الله بن عمر: فأنا رأيته متعلقا بحقب ناقة رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ ، تنكبه الحجارة، وهو يقول: يا رسول الله إنما كنا نخوض ونلعب. ورسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ يقول: ( أ بالله وآياته ورسوله كنتم تستهزؤون لا تعتذروا قد كفرتم بعد إيمانكم

“Ada seorang laki-laki berkata pada perang Tabuk dalam satu majelis : “Kami tidak pernah melihat orang seperti qurraa’ kita ini yang lebih mementingkan perut (rakus), dusta lisannya, dan penakut ketika bertemu musuh”.  Maka berkatalah seseorang dalam majelis : “Engkau dusta, bahkan engkau munafik.  Akan aku laporkan apa yang engkau katakana itu kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”. Maka, sampailah ucapan tersebut kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, kemudian turunlah ayat di atas. ‘Abdullah bin Umar berkata : “Maka aku pun melihat laki-laki itu bergantung di belakang onta Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan tersandung-sandung batu sambil berkata : “Wahai Rasulullah, kami hanyalah main-main saja, tidak sungguh-sungguh”.  Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu mengolok-olok?.  Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu kafir setelah beriman”.

Para ulama’ mengambil hukum dari QS. At-Taubah ayat 64-66 tadi tentang kafirnya orang yang memperolok-olok ayat-ayat Allah, syari’at-Nya, dan agama-Nya; baik yang dikatakannya itu sungguh-sungguh atau hanya sekedar main-main saja (bercanda).

Dalam hadits diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy rahimahullah dari Ibnu Mas’uudradliyallaahu ‘anhu, dijelaskan tentang olok-olokan kaum munafik terhadap amalan-amalan Islam yang dilakukan oleh kaum mukminin :

لما نزلت آية الصدقة؛ كنا نحامل على ظهورنا، فحاز رجل فتصدق بشيء كثير، فقالوا: مرائي. وجاء رجل فتصدق بصاع، فقالوا: إن الله لغني عن صدقة هذا

“Ketika turun ayat shadaqah, kami (para shahabat) membawanya di punggung kami. Maka datanglah seorang laki-laki bershadaqah dengan jumlah yang banyak.  Mereka (orang-orang munaafik) mengatakan : ‘Dia berbuat riyaa’ (ingin dipuji)’.  Kemudian datanglah seorang laki-laki bershadaqah dengan satu sha’, mereka pun berkata : ‘Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan shadaqah ini”.

Diriwayatkan pula oleh Muslim.

Ibnu Hajar Al-Haitsamiy rahimahullah dalam kitabnya Al-I’laam bi-Qawaathi’il-Islaam menyebutkan beberapa hal yang dapat menyebabkan seseorang kafir (jika melakukannya) adalah : ada sekelompok manusia yang berkumpul, seorang di antara mereka duduk di tempat tinggi yang menyerupai para penasihat, kemudian mereka bertanya tentang satu permasalahan sambil tertawa, lalu memukulkan tongkat.  Atau, mereka menyerupai pengajar (ustadz), diambilnya kayu, yang lain duduk mengelilingi mereka seperti sikap anak-anak. Lalu mereka tertawa sambil ber-istihtizaa’ (mengolok-olok). Atau berkata : ‘Sedikit bubur ini lebih baik daripada ilmu (agama)’.  Yang demikian ini dianggap sebagai satu kekafiran oleh beliau (Al-Haitsamiy).

Al-Lajnah Ad-Daaimah lil-Buhuts wal-Iftaa’ pernah ditanya tentang hukum orang yang mengolok-olok sebagian perkara-perkara yang disunnahkan seperti siwak, pakaian di atas mata kaki, dan minum sambil duduk; maka dijawab :

من استهزأ ببعض المستحبات، كالسواك، والقميص الذي لا يتجاوز نصف الساق، والقبض في الصلاة، ونحوها مما ثبت من السنن؛ فحكمه: أنه يبين له مشروعية ذلك، وأن السنة عن الرسول ـ صلى الله عليه وسلم ـ دلت على ذلك؛ فإذا أصر على الاستهزاء بالسنن الثابتة: كفر بذلك، لأنه بهذا يكون متنقصا للرسول ـ صلى الله عليه وسلم ـ ولشرعه، والتنقص بذلك كفر أكبر

”Barangsiapa yang mengolok-olok sebagian perkara yang disunnahkan, seperti siwak, berpakaian tidak melebihi pertengahan betis, bersedekap ketika shalat dan lainnya yang telah tetap dari Sunnah; maka hukumnya adalah : Hendaknya ia diberikan penjelasan tentang disyari’atkannya perbuatan tersebut (yang ia olok-olok). Bahwasannya Sunnah Rasul shallallaahu ’alaihi wasallam menunjukkan demikian. Apabila setelah diberi penjelasan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari Sunnah yang telah tetap, (orang tersebut masih saja mengolok-olok), maka ia telah kufur. Hal itu disebabkan karena ia telah mencela dan menghujat Rasul shallallaahu ’alaihi wasallam dan syari’atnya. Mencela dan menghujat yang seperti ini maka termasuk kufur akbar” [Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah lisy-Syawaarifi hal. 141-142],

Pertanyaan :

ما حكم ساب الدين إن كان جاهلا، هل يعذر بجهله أم أنه لا عذر بالجهل في هذه المسألة؟ وهل إذا كان مقصده سب الشخص نفسه، فجرى على لسانه سب دينه، هل يعذره هذا من الكفر، أم ماذا؟ وما أقوال السلف في هذا الأمر؟

“Apa hukum orang yang mencela agama karena kebodohan ? Apakah ia diberikan udzur karena kebodohannya itu ataukah tidak dalam masalah ini ? Seandainya orang itu bermaksud mencela pribadi seseorang, namun akhirnya lisannya keluar celaan, apakah ia diberikan udzur atas kekafiran ataukah tidak ? Bagaimana perkataan salaf dalam permasalahan ini ?

Jawab :

سب الله، أو سب كلامه، أو شيء منه: كفر. وكذا سب الرسول ـ صلى الله عليه وسلم ـ ، أو سنته، أو شيء منها، أو سب دين الشخص إذا كان دينه الإسلام؛ فيجب أن يبين له الحكم إذا كان مثله يجهل ذلك، فإن أصر على السب فهو: كافر مرتد عن ملة الإسلام، فإن تاب وإلا قتل، لقوله تعالى: ( قل أ بالله وآياته ورسوله كنتم تستهزؤون لا تعتذروا قد كفرتم بعد إيمانكم).
وأما من سب شخصا مسلما لذاته، فجرى على لسانه دين ذلك الشخص، بدون قصد، وإنما هو محض خطأ منه، فإن مثله لا يكفر، ولكن يوصى بالتحرز والحذر بكلماته، حتى لا يقع في الكفر وهو لا يشعر

Mencela Allah, atau mencela firman-Nya, atau mencela sesuatu hal dari-Nya adalah perbuatan kufur.  Demikian juga dengan mencela Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, atau mencela sunnahnya, ataupun sesuatu yang berasal darinya, atau mencela agama Islam. Maka, wajib diberi penjelasan tentang hukum-hukumnya jika ia memang tidak mengetahui. Jika sudah mengetahui, tetapi ia tetap terus mencela; maka ia kafir lagi murtad dari agama Islam.  Jika bertaubat, maka taubatnya diterima. Jika tidak bertaubat, ia dibunuh. Hal itu berdasarlan firman Allah ta’ala :

“Katakanlah : ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok ?. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman”.

Jika celaan itu ditujukan kepada pribadi seorang muslim, misalnya. Lalu dari mulutnya keluar celaan juga terhadap dien/agama orang tersebut tanpa sengaja, ini adalah kesalahan yang tidak mengkafirkan. Akan tetapi, orang yang mencela perlu diberi nasihat, bimbingan, dan peringatan agar dia berhati-hati dalam berucap dan berkata.  Hal seperti itu dilakukan agar orang tersebut tidak jatuh pada kekufuran tanpa ia sadari” [Fataawaa Lajnah Daaimah Lisy-Syawaarif, hal. 141 – 142].

Asy-Syaikh Abdul-‘Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya :

أرى كثيرا من الشباب إذا رأوا الشباب المحافظ على صلاته، ودينه؛ يستهزؤون به.. ويتكلمون عن الدين باستهتار وعدم مبالاة؛ فما القول في ذلك؟ وهل تجوز مجالستهم، والمرح معهم في أوقات ليس فيها صلاة؟

“Saya melihat banyak pemuda jika melihat sekelompok pemuda yang memelihara shalatnya dan agamanya, mereka mengolok-oloknya. Mereka berkata-kata tentang agama secara sembrono tanpa peduli.  Bagaimana Anda tentang hal ini ?. Bolehkah kami duduk-duduk di majelis mereka ? dan juga bergembira bersama di luar waktu shalat?”.

Beliau menjawab :

الاستهزاء بالإسلام، أو بشيء منه؛ كفر أكبر … ومن يستهزئ بأهل الدين، والمحافظين على الصلوات، من أجل دينهم ومحافظتهم عليه، يعتبر مستهزئا بالدين، فلا تجوز مجالسته، ولا مصاحبته، بل يجب الإنكار عليه، والتحذير منه، ومن صحبته، وهكذا من يخوض في مسائل الدين بالسخرية والاستهزاء يعتبر كافرا، فلا تجوز صحبته، ولا مجالسته، بل يجب الإنكار عليه، والتحذير منه، وحثه على التوبة النصوح، فإن تاب ـ فالحمد لله ـ وإلا وجب الرفع عنه إلى ولاة الأمور، بعد إثبات أعماله السيئة بالشهود العدول حتى ينفذ فيه حكم الله، من جهة المحاكم الشرعية

Mengolok-olok (istihzaa’) terhadap Islam dan hal-hal yang terkait dengannya merupakan kufur akbar.  Dan barangsiapa mengolok-olok orang-orang yang beriman dan senantiasa menjaga shalatnya dikarenakan faktor agamanya dan penjagaannya terhadap shalat tersebut, maka itu diperhitungkan mengolok-olok agama. Maka, tidak diperbolehkan duduk-duduk di majelis mereka dan bershahabat dengan mereka. Bahkan wajib untuk mengingkarinya dan memperingatkannya dan orang-orang yang bershahabat dengannya. Begitu juga dengan orang yang berbicara tentang permasalahan agama dengan sikapsukhriyyah dan istihzaa’, dianggap kaafir. Tidak boleh bershahabat dan duduk-duduk dengannya. Bahkan, wajib untuk mengingkarinya dan memperingatkannya. Menganjurkannya untuk bertaubat dengan sebenar-benarnya dari perbuatan yang dilakukannya itu. Jika ia bertaubat – Alhamdulillah– , dan jika tidak bertaubat, ia diajukan kepada wulaatul-umuur, setelah terbukti perbuatan jeleknya itu dengan persaksian saksi-saksi yang adil agar hukum Allah dapat dilaksanakan oleh pengadilan syari’at” [Majalah Ad-Da’wah no. 978].

Ibnu Hazm mengatakan: “Nash yang shahih telah menyatakan, bahwa siapa saja yang memperolok-olok Allah setelah sampai kepadanya hujjah, maka ia telah kafir.”  Al Fishal (III/299).

Al Qadhi Iyadh berkata: “Barangsiapa mengucapkan perkataan keji dan kata-kata yang berisi penghinaan terhadap keagungan Allah dan kemuliaanNya, atau melecehkan sebagian dari perkara-perkara yang diagungkan oleh Allah, atau memelesetkan kata-kata untuk makhluk yang sebenarnya hanya layak ditujukan untuk Allah tanpa bermaksud kufur dan melecehkan, atau tanpa sengaja melakukan ilhad (penyimpangan); jika hal itu berulang kali dilakukannya, lantas ia dikenal dengan perbuatan itu sehingga menunjukkan sikapnya yang mempermainkan agama, pelecehannya terhadap kehormatan Allah dan kejahilannya terhadap keagungan dan kebesaranNya, maka tanpa ada keraguan lagi, hukumnya adalah kafir.”  Asy Syifaa (II/1092).

SIKAP SEORANG MUSLIM TERHADAP PELAKU ISTIHZA :

Allah berfirman dalam kitab-Nya:

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ ءَايَاتِ اللهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِّثْلُهُمْ إِنَّ اللهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا

Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahannam. [An Nisa’:140].

Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

IbnuAbdulloh@

nur-muslim.blogspot.com

Kutipan

Bahaya Besar di Balik Buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi’

5 Mar
Najd, Saudi Arabia locator map

Najd, Saudi Arabia locator map (Photo credit: Wikipedia)

Bahaya Besar di Balik Buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi’

Bismillahirrohmanirrohiim



بسم الله الرحمن الرحيم

Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin, was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in. Amma ba’du.

Membongkar Kebohongan & Penyesatan Buku ”Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi”

Waspadai buku “SEJARAH BERDARAH SEKTE SALAFI WAHABI: Mereka Membunuh Semuanya Termasuk Para Ulama.” Buku yang diberi Kata Pengantar oleh Ketua PBNU, Prof KH Said Agil Siraj ini penuh dengan kesesatan, antara lain: menebar provokasi kebencian dan permusuhan sesama Muslim, mengajarkan rasisme, penuh kecurangan dan kebohongan, mempromosikan ajaran Syi’ah, memicu pertikaian besar sesama kaum Muslimin, terang-terangan mengajarkan prinsip-prinsip kesesatan, mengajarkan sikap kurang ajar kepada para Ulama, memakai metode intelijen untuk mengadu-domba umat Islam, dan mendukung serangan kaum Islamophobia terhadap dakwah.

Oleh: AM. Waskito

Di tahun 2011 ini muncul sebuah kejutan khususnya di lapangan dakwah Islam di Tanah Air, yaitu dengan terbitnya sebuah buku berjudul: “SEJARAH BERDARAH SEKTE SALAFI WAHABI: Mereka Membunuh Semuanya Termasuk Para Ulama”. Buku ini karya orang Indonesia, tetapi disamarkan seolah penulisnya adalah orang Arab. Si penulis menyebut dirinya sebagai Syaikh Idahram, sebuah nama yang terasa asing di kancah dakwah.

Buku ini selain memakai judul yang sangat kasar, semodel buku-buku karya orang PKI atau kaum atheis lainnya, di dalamnya juga pekat berisi fitnah, kebohongan, penyesatan opini, penyebaran akidah Syiah, upaya adu-domba antar Ummat Islam, dll. Banyak fakta-fakta bisa diungkap tentang kebohongan dan kecurangan Syaikh Idahram. Sangat ironisnya, buku itu justru diberi kata pengantar oleh Ketua PBNU, Said Agil Siraj. Said Agil ini sepertinya sudah tidak sabar untuk memanfaatkan posisinya —sebagai Ketua PBNU— untuk menyerang para aktivis Islam. Belum juga lama dia menjadi Ketua PBNU, langsung terlibat menjadi promotor utama terbitnya buku adu-domba ini. Seharusnya Said Agil bermain cantik, sehingga ambisi permusuhannya kepada aktivis Islam tidak cepat kelihatan.

Buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi (SBSSW)” ini sangat berbahaya kalau tersebar luas ke tengah masyarakat. Dilihat dari judulnya saja, tampak sangar, provokatif, dan berpotensi menjerumuskan kaum Muslimin dalam pertikaian tanpa kesudahan. Buku SBSSW ini tidak layak diklaim sebagai buku ilmiah. Bisa dikatakan, buku ini adalah buku adu-domba, yang ditulis oleh orang Syiah dan Liberal, dalam rangka membenturkan sekelompok Ummat Islam dengan kelompok lainnya. [1] Bahkan ia sudah masuk kategori buku Black Champaign.

[1] Kita harus belajar dari kejadian-kejadian aktual di tengah masyarakat. Misalnya kerusuhan di Cikeusik Banten yang menimpa penganut Ahmadiyyah. Kerusuhan itu sudah direkayasa sedemikian rupa; disana telah dipersiapkan barisan provokator, penyerang bersenjata, pengambil gambar, korban, tukang upload video di internet, dll. Lalu pasca kejadian itu, dibuat rekayasa opini yang sangat keji melalui media-media TV (khususnya MetroTV dan TVOne). Dalam opini yang dikembangkan, digambarkan betapa beringas sikap aktivis Islam kepada kaum Ahmadiyyah. Padahal pihak Ahmadiyyah sendiri melalui pimpinannya (Saudara Deden) sejak awal sudah menginginkan terjadi kerusuhan di tempat tersebut. Akibat kerusuhan ini, para aktivis Liberal (baca: kaum non Muslim) berkoar-koar meminta supaya FPI dibubarkan. Begitu pula kejadian di Pemalang, Ciketing Bekasi, dll. selalu mencerminkan skenario adu-domba, permusuhan, dan penyesatan opini. Kaum Liberal (non Muslim) yang kebanyakan adalah anak-cucu kaum PKI di tahun 1965 dulu, mereka selalu berada di balik aksi-aksi jahat untuk menghancurkan citra kaum Muslimin dan merusak persatuan Ummat. Di balik beredarnya buku SBSSW tercium aroma kuat modus serupa, berupa adu domba dan penyesatan opini. Semoga Allah Ta’ala mengekalkan laknat, kehancuran usaha, kesusahan hidup, serta kehinaan, atas kaum pendosa yang selalu memfitnah Islam dan kaum Muslimin itu. Amin Allahumma amin, ya ‘Aziz ya Jabbar ya Mutakabbir.

Disini kita akan membahas sisi-sisi bahaya tersebut, antara lain sebagai berikut:

(1). Buku ini memprovokasi masyarakat untuk membenci dan memusuhi apa yang oleh penulis disebut sebagai sekte Salafi Wahabi. Menyebarkan kebencian seperti itu jelas sangat dilarang dalam Islam. Dalam hadits Nabi Saw bersabda, “Al muslimu akhul muslimi, laa yazh-lumuhu, wa laa yakh-dzuluhu, wa laa yahqiruhu. At taqwa hahuna (wa yusyiru ‘ala shadrihi tsala-tsata marrat). Bi hasbi imri’in minas syarri an yahqira akhahul muslim (Seorang Muslim itu saudara Muslim yang lain, tidak boleh menzhaliminya, membiarkannya dizhalimi, dan menghinanya. Taqwa itu disini —kata Nabi sambil menunjuk ke dadanya tiga kali—. Cukuplah seseorang disebut berbuat jahat jika dia menghina saudara Muslimnya). (HR. Muslim)

(2). Buku ini mengandung ajaran-ajaran RASIS yang sangat berbahaya. Penulisnya mengajak Ummat Islam memusuhi negara Saudi, para ulamanya, kaum santrinya, serta Pemerintahannya. Selain itu penulis buku itu juga mengajak memusuhi siapa saja, di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, yang mendukung paham Wahabi. Salah satu bukti sikap RASIS dari penulis buku ini ada di hal. 174. Disana dia mengatakan: “Tanduk setan itu berasal dari keturunan Bani Tamim. Sedangkan kita tahu bahwa, pendiri Salafi Wahabi itu juga berasal dari keturunan yang sama, yaitu Bani Tamim, sebagaimana gelar yang selalu dipakainya: Muhammad Ibnu Abdul Wahhab an-Najdi at-Tamimi. Jadi klop sudah. Bukan dibuat-buat.” (SBSSW, hal. 174). Dalam halaman yang cukup banyak penulis ini menghancurkan nama baik wilayah Najd, di Saudi. Salah satunya dia katakan: “Dari Najd timbul berbagai kegoncangan, fitnah-fitnah, dan dari sana munculnya tanduk setan.” (SBSSW, hal. 158). [2] Bukan hanya Bani Tamim atau penduduk Najd yang dilecehkan penulis, dia juga melecehkan orang Arab.

[2] Anehnya vonis “tanduk setan” terhadap Najd dan penduduknya ini tidak dilakukan, kecuali setelah di Najd bangkit dakwah Wahabi. Artinya, vonis itu mengandung niat busuk. Kalau misalnya wilayah Najd dianggap “tanduk setan”, seharusnya mereka sudah melontarkan vonis jauh-jauh hari sebelum muncul gerakan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Bahkan seharusnya, mereka dan Khilafah Utsmani di Turki tidak boleh marah ketika Najd direbut oleh keluarga Ibnu Saud. Ya buat apa marah, wong Najd sudah divonis sebagai “tanduk setan” kok? Malah mereka seharusnya bersyukur, ada manusia yang mau mengolah wilayah “tanduk setan” itu. Kalau melihat dendam kesumat kaum anti Wahabi, baik dari sisi kaum Alawiyyun atau kaum Syiah, masalah sebenarnya bukan ke persoalan Najd sebagai “tanduk setan”. Tetapi Najd yang semula dikuasai keluarga Syarif Hussein selama 700 tahun, lalu berpindah kekuasaan ke tangan Ibnu Saud. Itu sebenarnya masalah utama di balik munculnya hadits-hadits soal Najd sebagai “tanduk setan” ini. Bisa jadi, ketika 700 tahun Najd dikuasai keluarga Syarif, mereka tidak banyak menyinggung soal Najd sebagai “tanduk setan”. Ya, begitu deh!

Dalam bukunya dia berkata, “Tidak semua orang Arab mengerti agama, bahkan banyak dari mereka yang ‘lebih dajjal’ daripada dajjal.” (SBSSW, hal. 224). Nabi Saw menyebut bahwa puncak fitnah itu ada saat kedatangan dajjal. Bahkan kata beliau, para Nabi dan Rasul selalu mengingatkan ummatnya tentang dajjal ini. Lalu kini, si penulis menuduh banyak orang Arab ‘lebih dajjal’ dari dajjal sendiri.Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiun. Berarti dalam hal ini penulis merasa lebih pintar dari Nabi Saw. Masya Allah. Banyak bukti-bukti sikap RASIS dari si penulis yang menyebut diri Syaikh Idahram ini. Dan sikap RASIS ini sudah menjadi ciri khas kaum Syiah dan penganut SEPILIS. [3]

[3] Para penganut Syiah di Indonesia banyak dari keturunan Arab Yaman (Hadramaut). Mereka itu orang Arab, atau keturunan Arab. Padahal dalam akidah Syiah, jika nanti turun Imam Al-Mahdi Al-Qaim, dia akan membabat habis bangsa Arab, hanya menyisakan kaum Persia. Begitu keyakinan mereka. (Mengapa Saya Keluar dari Syiah, karya Sayyid Hussein Al-Musawi, hal. 134-135). Pemimpin FPI, Habib Rieziq Shihab, pernah menulis sebuah makalah ilmiah tentang karakter RASIS kaum Liberal.

(3). Buku ini penuh kecurangan dan kebohongan. Penulis secara sadar mengacaukan akal para pembaca dengan data-data, kutipan, referensi, dll. Tetapi semua itu tidak dituangkan dalam suatu pembahasan ilmiah secara jujur. Contoh, ketika dia menyebutkan kekejaman kaum Wahabi di hal. 61-138, bab tentang, “Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama”. Disini yang diceritakan penulis hanya kekejaman, keganasan, kesadisan, serta angkara murka kaum Wahabi. Tetapi penulis tidak pernah sedikit pun mengakui bahwa semua itu merupakan bentuk KONFLIK POLITIK antara keluarga-keluarga Emir (bangsawan) di Jazirah Arab. Konflik seperti itu sudah terjadi sejak lama di Jazirah Arab, bahkan sebelum Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dilahirkan oleh ibunya. Penulis ini juga hanya menghujat posisi Kerajaan Saudi, padahal yang melepaskan diri dari Khilafah Utsmani Turki bukan hanya Saudi. Disana ada Yaman, Bahrain, UEA, Qatar, Irak, Oman, Mesir, Yordania, Syria, dll. Kecurangan yang dibungkus kemasan ilmiah, tentu lebih berbahaya, sebab ia akan dikira sebagai kebenaran yang tak terbantahkan.

(4). Buku ini juga mempromosikan ajaran-ajaran Syiah. Banyak indikasi-indikasi yang membuktikan hal itu dalam buku SBSSW. Nanti akan kita bahas secara khusus tentang akidah yang dianut penulis (Syaikh Idahram). Salah satu contoh kecil, sangat halus, tetapi kelihatan. Perhatikan kalimat berikut ini: “Pada bulan Safar 1221 H/1806 M, Saud menyerang an-Najaf al-Asyraf, namun hanya sampai di As-Sur (pagar perlindungan). Meskipun gagal menguasai An-Najaf, tetapi banyak penduduk tak berdosa mati terbunuh.” (SBSSW, hal. 104-105). Tidak ada seorang pun Ahlus Sunnah yang menyebut Kota Najaf dengan sebutan Al-Asyraf. [4] Hanya orang Syiah yang melakukan hal itu. Fakta lain yang menunjukkan bahwa si penulis berakidah Syiah adalah pernyataan berikut ini: “Dalam Islam, sedikitnya ada 7 mazhab yang pernah dikenal, yaitu: Mazhab Imam Ja’far ash Shadiq (Mazhab Ahlul Bait), Mazhab Imam Abu Hanifah an-Nu’man, Mazhab Imam Malik bin Anas, Mazhab Imam Syafi’i, Mazhab Imam Ahmad ibnu Hanbal, Mazhab Syiah Imamiyah, dan Mazhab Daud azh Zhahiri. Sedangkan “Mazhab Salaf” tidak pernah ada! Sebab ulama Salaf itu banyak, termasuk di dalamnya imam-imam mazhab yang tadi.” (SBSSW, hal. 208). Demi Allah, Ahlus Sunnah di seluruh dunia Islam tidak akan ada yang mengatakan perkataan seperti ini. Perkataan seperti ini hanya akan keluar dari lidah orang-orang Syiah (Rafidhah). Lihatlah, dalam perkataan ini dia mengklaim ada 7 madzhab dalam Islam, yaitu 4 madzhab Ahlus Sunnah, ditambah 2 madzhab Syiah (madzhab Ja’fari dan Imamiyyah) dan 1 madzhab Zhahiri. Pendapat yang masyhur di kalangan Ahlus Sunnah, madzhab fikih itu hanya ada 4 saja, yaitu madzhab Abu Hanifah (Hanafi), Imam Malik (Maliki), Imam Syafi’i (Syafi’i), dan madzhab Imam Ahmad (Hanbali). Kalau ada tambahan, paling madzhab Zhahiri. Itu pun tidak masyhur di kalangan Ahlus Sunnah. Lalu dalam buku SBSSW itu, si penulis Syiah berusaha membohongi kaum Muslimin, dengan mengatakan, bahwa dalam Islam ada sedikitnya 7 madzhab. Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiun. Bahkan madzhab Ja’fari dalam kalimat di atas disebut pada urutan pertama. Lebih busuk lagi, madzhab Syiah Imamiyyah yang merupakan salah satu sekte Syiah paling ekstrem, disebut sebagai madzhab Islam juga. Allahu Akbar!

[4] Kota Najaf terletak di Irak, begitu pula Karbala. Sedangkan Kota Qum terletak di Iran. Kota Najaf, Karbala, dan Qum selama ini diklaim sebagai kota suci kaum Syiah. Sepanjang tahun kaum Syiah berziarah ke kota-kota itu karena disana ada situs-situs yang disucikan kaum Syiah. Selama ini kaum Muslimin mengenal Masjidil Haram di Makkah dengan sebutan Al-Haram As-Syarif. Namun kaum Syiah menyebut Kota Najaf dengan ungkapan Al-Asyraf artinya, lebih mulia atau paling mulia). Seolah, mereka ingin mengatakan, bahwa Najaf lebih mulia dari Kota Makkah. Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiun.

Kalimat di atas juga mengandung kebodohan yang sangat telanjang. Coba perhatikan kalimat berikut ini: Sedangkan “Mazhab Salaf” tidak pernah ada! Sebab ulama Salaf itu banyak, termasuk di dalamnya imam-imam mazhab yang tadi. (SBSSW, hal. 208). Kalimat seperti ini hanya mungkin dikatakan oleh orang gila. Bayangkan, si penulis secara tegas mengklaim, bahwa madzhab Salaf itu tidak ada. Tetapi pada kalimat yang sama, dia mengakui bahwa imam-imam madzhab (seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad), termasuk bagian dari ulama Salaf. Si penulis bermaksud mementahkan eksistensi madzhab Salaf, tetapi saat yang sama dia mengakui bahwa imam-imam madzhab itu termasuk imam madzhab Salaf. Kalau dia jujur ingin mengatakan, bahwa madzhab Salaf tidak ada, berarti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, atau Hanbali juga tidak ada. Ya bagaimana lagi, wong mereka itu imam-imam Salaf kok. Si penulis itu mengakui, bahwa mereka adalah imam-imam Salaf.

Sangat disayangkan dalam hal ini, KH. Ma’ruf Amin, salah satu Ketua MUI, ikut mendukung buku ini. Padahal MUI sendiri pada tahun 1984 pernah mengeluarkan fatwa yang menjelaskan pokok-pokok kesesatan paham Syiah menurut Ahlus Sunnah, kemudian MUI meminta Ummat Islam mewaspadai sekte ini. [5] Bahkan KH. Ma’ruf Amin pernah diminta MUI untuk mengkaji tentang haramnya Nikah Mut’ah di kalangan Syi’ah. [6] Seharusnya beliau membaca secara teliti buku SBSSW itu, sebelum mempromosikannya ke tengah masyarakat. Kalau ingin membantah KH. Ma’ruf Amin ini, kita merasa tidak enak, sebab beliau termasuk ulama sepuh di negeri kita. Tetapi kalau melihat keterlibatan beliau dalam mendukung buku SBSSW itu, kita sangat menyesalinya. Bisakah disini dikatakan bahwa KH. Ma’ruf Amin ikut mendukung paham Syiah? Wallahu A’lam bisshawaab. Semoga saja dukungan KH. Ma’ruf Amin ini hanyalah merupakan ketergelinciran seorang alim dan semoga ia segera dihapus dengan pernyataanbara’ah (berlepas diri dari buku SBSSW itu). Kalau beliau tidak melakukannya, secara pribadi saya akan menyebut beliau sebagai pendukung Syiah dan SEPILIS. Siapapun yang terlibat mempromosikan ajaran sesat (Syiah dan SEPILIS) tidak layak didoakan mendapat khusnul khatimah, karena promosi seperti itu bisa membuat ribuan kaum Muslimin mati dalam keadaan su’ul khatimahNa’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik.

[5] Lihat situs voa-islam.com, tentang tersebarnya fatwa palsu MUI tentang Syiah yang ditulis anggota MUI, Prof. Dr. Umar Shihab. Fatwa itu mengklaim bahwa paham Syiah tidak sesat menurut MUI. Lalu redaksi voa-islam.com mencantumkan fatwa MUI asli yang dikeluarkan tahun 1984, tentang aspek-aspek kesesatan Syiah.

[6] Lihat Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, karya Ustadz Hartono Ahmad Jaiz, hal. 144. Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, tahun 2006.

(5). Buku ini bisa memicu pertikaian besar di tengah kaum Muslimin. Mengapa dikatakan demikian? Sebab sang penulis tidak mengidentifikasi kaum Wahabi dengan ciri-ciri yang jelas. Dengan sendirinya masyarakat akan bingung memahami, Wahabi itu apa dan bagaimana? Perlu diketahui, yang mengajarkan Tauhid, Sunnah, ilmu, dan dakwah, bukan hanya dakwah Wahabi. Jamaah-jamaah Islam yang lain juga mengajarkan hal itu. Contoh, gerakan Ikhwanul Muslimin. Manhaj gerakan ini merujuk kepada Ushulul Isyrin (prinsip 20) yang diajarkan Syaikh Hasan Al-Bana rahimahullah. Dalam prinsip itu juga diajarkan tentang pentingnya Tauhid, buruknya syirik; pentingnya Sunnah, buruknya bid’ah. Bahkan ormas Islam seperti Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Dewan Dakwah (DDII), Pesantren Hidayatullah, Wahdah Islamiyyah, dll. juga mengajarkan Tauhid, Sunnah, ilmu, dan dakwah. Begitu pula Majelis Mujahidin, Jamaah Ansharut Tauhid, dan yayasan-yayasan dakwah Salafi. Jika masyarakat salah paham, mereka akan menyangka bahwa semua organisasi, lembaga, atau yayasan itu harus dibenci dan dimusuhi, karena mereka dianggap Wahabi.

(6). Buku ini secara jelas telah mengajarkan prinsip-prinsip KESESATAN secara telanjang. Disini akan disebutkan beberapa pernyataan penulis. Coba perhatikan kalimat berikut ini: “Sesungguhnya Salaf tidak pernah sama dalam memahami berbagai masalah agama yang begitu komplek.” (SBSSW, hal. 201). Ini adalah jenis KESESATAN BESAR. Kalimat ini jelas meniadakan Al-Ijma’ di kalangan para Shahabat, Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in.

Padahal para ulama sudah sepakat, kalau suatu urusan telah menjadi ijma’ (konsensus) mayoritas Shahabat, hal itu menjadi dasar hukum yang kuat. Misalnya ijma’ Shahabat dalam memilih empat Khalifah (Abu Bakar Ra, Umar Ra, Utsman Ra, dan ‘Ali Ra) sebagai pemimpin Ummat. Ijma’ ini tidak diragukan lagi. Begitu pula ijma’ mereka dalam Jihad Fi Sabilillah, penulisan Mushaf Al-Qur’an, menyatukan bacaan Al-Qur’an, Shalat berjamaah di masjid, Shalat ‘Ied, Shalat Istisqa’, menyelenggarakan Zakat, Shaum Ramadhan, manasik Haji, dll. Apa saja yang dilakukan secara jama’i oleh Shahabat Ra, dan tidak ada pengingkaran mereka atas hal itu, ia adalah Ijma’ Shahabat.

Kalau dikatakan Salaf tidak pernah sama dalam segala masalah agama, otomatis mereka selalu berselisih dan berselisih. Disini mengandung dua tuduhan dahsyat.Pertama, penulis itu telah menuduh para Shahabat Ra bermental buruk, sehingga sulit menyatukan kalam. [7] Mereka selalu berpecah-belah, tak pernah bersatu. Kedua, penulis juga menuduh ajaran Islam sebagai biang perpecahan. Padahal secara hakiki, Islam mengajarkan prinsip Al-Jamaah, yaitu persatuan Ummat. Bahkan ada ulama yang mengatakan, perpecahan adalah qurrata a’yun-nya syaitan.[8]

[7] Di mata kaum Syiah, mencela, menghina, atau merendahkan para Shahabat Ra bukan sesuatu yang aneh. Bahkan melaknat para Shahabat itu telah menjadi amal shalih tersendiri. Na’udzbillah min dzalik.

[8] Qurrata a’yun maksudnya, penyejuk mata syaitan. Syaitan sangat berkepentingan terhadap perpecahan Ummat.

Kemudian, perhatikan kalimat berikut ini, “Siapa saja yang ahli atau telah memenuhi syarat dalam memahami teks-teks agama, dia berhak atas hal itu, tidak wajib mengikuti pemahaman Salaf seperti yang disangkakan Salafi Wahabi.”(SBSSW, hal. 205). Lihatlah betapa beraninya ucapan penulis ini! Dia begitu meremehkan kaum Salaf, dan merasa dirinya setara dengan Salaf. Innalillahi wa inna ilaihi ra’jiun. Sudah masyhur tentang kisah Imam Malik rahimahullah. Beliau pernah ditanya 40 pertanyaan, dan sebagian besar pertanyaan itu dijawab dengan kalimat, “Laa ad-riy” (aku tidak tahu). Hanya satu pertanyaan yang beliau jawab. Lihatlah, betapa sangat hati-hatinya Imam Malik dalam berfatwa. Padahal siapa yang meragukan pengetahuan beliau tentang Islam? Ajaran yang menyuruh Ummat Islam mengikuti jejak Salafus Shalih, bukanlah monopoli kaum Wahabi. Hal itu disebutkan dalam Al-Qur’an, Surat At-Taubah ayat 100. [9] Lucunya, si penulis dalam bukunya ternyata getol mengikuti konsep keilmuwan yang ditinggalkan para Salaf, setidaknya dalam soal riwayat hadits-hadits. Bisa dikatakan disini, “Tanpa peranan generasi Salaf, kita hari ini tidak akan memiliki ilmu apapun.”

[9] Surat At-Taubah ayat 100, dengan arti: “Dan orang-orang yang mula pertama masuk Islam, dari kalangan kaum Muhajirin dan kaum Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan, Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada Allah. Dan Allah telah menyediakan bagi mereka syurga-syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan besar.” Disini ada kalimat “walladzinat taba’uu hum bil ihsan” (dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan). Ini adalah dalil qath-iy tentang pentingnya mengikuti jejak Salafus Shalih (para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in).

Di halaman lain penulis SBSSW berkata: “Bagaimana mungkin mereka mengharuskan kita mengikuti madzhab Salaf, kalau namanya saja tidak ada? Sebab tidak pernah ada dan tidak pernah dikenal dalam sejarah peradaban umat Islam, apa yang dinamakan madzhab Salaf.” (SBSSW, hal. 207-208). Ini adalah puncak kebodohan si penulis. Memang dalam Al-Qur’an atau As-Sunnah, tidak disebutkan secara eksplisit “madzhab Salaf”. Tetapi kaum Salaf itu ada dan nyata. Kaum Salaf adalah para Shahabat Nabi, Khulafaur Rasyidin, Ahlul Bait Nabi, kaum Muhajirin, kaum Anshar, peserta Perang Badar, peserta Bai’at Ridhwan, dll. Begitu pula Imam madzhab fiqih, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin Hanbal; para imam ahli hadits, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ibnu Majah, Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi, Imam Nasa’i, Imam Baihaqi, Imam Ibnu Khuzaimah, Imam Ad Darimi, dll. Semua itu adalah kaum Salaf. Mereka ada dan nyata. Hanya orang-orang pandir yang akan mengingkari mereka.

Kita tidak perlu mencari-cari sebutan “madzhab Salaf” untuk mengikuti jejak mereka. Adanya eksistensi kaum Salaf yang merupakan generasi terbaik Ummat ini, itu sudah menunjukkan adanya manhaj Salaf. Seperti pernyataan kaum Badui yang masih bersih fithrah ketika ditanya tentang eksistensi Allah. “Adanya jejak kaki dan kotoran hewan, bisa menunjukkan adanya kafilah yang melintasi padang pasir. Begitu pula, adanya bintang-bintang di langit menunjukkan adanya Sang Pencipta alam semesta.” Adanya suatu kaum yang memiliki sifat-sifat tertentu, hal itu sudah membuktikan adanya manhaj kaum tersebut. Kalau kemudian manhaj Salaf hendak dibuang, jelas akan bubar agama ini. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik. Bagaimana bisa kita memahami Islam, tanpa metode yang dicontohkan kaum Salaf? Adapun bentuk mengikuti manhaj Salaf itu secara kongkritnya ialah mengikuti dan melestarikan kaidah-kaidah ilmiyah yang diwariskan kaum Salaf di bidang Al Qur’an, Tafsir, ilmu Hadits, Akidah, Fiqih, Ibadah, hukum Haad, Siyasah, Suluk, ilmu bahasa, sastra Arab, dll. Sejauh kita beragama mengikuti kaidah-kaidah ilmiah itu, berarti kita telah mengikuti Salaf. Dan kaidah-kaidah inilah yang selama ini hendak dihancurkan oleh para penganut SEPILIS.

(7). Buku ini mengajarkan sikap kurang ajar kepada para ulama yang telah diakui oleh Ummat. Perilaku seperti ini sudah khas menjadi ciri kaum Syiah dan SEPILIS. Mereka tidak segan-segan menyerang Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari, Az-Zuhri, bahkan melecehkan para Shahabat Ra. Salah satu bukti sikap kurang ajar ke ulama ialah perkataan penulis berikut ini:“Menurut hemat penulis, dalam masalah ini (yaitu soal apakah Al-Qur’an itu makhluk atau bukan—pen.), Imam Ahmad-lah yang keliru. Sebab Allah SWT secara terang berfirman dalam Al-Qur’an, ‘Ma ya’tihim min dzikrin min robbihim muhdatsin’ (tidak datang kepada mereka suatu ayat Al-Qur’an pun yang muhdats/baru dari Tuhan mereka).” (QS. Al-Anbiya’ [21] : 2). Lihatnya betapa lancangnya si penulis dalam membantah Imam Ahmad bin Hanbalrahimahullah! Dia merasa lebih pandai dari Imam Ahmad. Masya Allah. [10]

[10] Berdalil dengan Surat Al-Anbiya’ ayat 2 ini, penulis hendak mematahkan akidah Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa Al-Qur’an itu Kalamullah, bukan muhdats (ciptaan baru). Menurut si penulis, Al-Qur’an itu ciptaan baru alias makhluk. Namun sangat curangnya, dia memotong kelanjutan dari ayat tersebut. Kelanjutannya adalah, “Illa istama’uhu wa hum yal’abuun” (melainkan mereka mendengarkan, namun dengan main-main). Jadi yang dimaksud dalam Surat Al-Anbiya’ ayat 2 itu ialah celaan terhadap sikap buruk orang musyrikin, tatkala datang ayat-ayat Allah yang baru (karena memang Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur), mereka mendengarkan tetapi sambil bermain-main. Ayat ini berkaitan dengan kelakuan orang musyrik, bukan dalil bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Kalau tidak percaya, silakan Pembaca periksa sendiri ayat tersebut menurut versi terjemahan paling popluler di Indonesia, yaitu Departemen Agama RI. Ulama akidah menjelaskan, bahwa keyakinan ‘Al-Qur’an itu makhluk’, apabila didasari pengetahuan dan kesengajaan, akan membuat kafir pelakunya. Sebab dengan keyakinan itu mereka hendak menyamakan Al-Qur’an dengan makhluk, yang tentu di siksi makhluk terdapat banyak kelemahan dan kesalahan. Siapapun yang meyakini demikian, berarti dia telah kufur kepada Al-Qur’an. Padahal salah satu syarat keimanan adalah at tashdiqu bil qalbi (pembenaran dengan hati). Kalau hatinya sudah kufur kepada Al-Qur’an, otomatis imannya pun gugur. Maka orang-orang Syiah yang meyakini bahwa Al-Qur’an telah diubah-ubah oleh para Shahabat Nabi Saw termasuk ke golongan gugur iman itu. Na’udzubillah minal kufri.

Di sisi lain, penulis ini dengan sangat lancang mengatakan: “Jadi benar apa yang disangkakan selama ini, bahwa ternyata Salaf yang mereka maksud, tidak lain dan tidak bukan, adalah Ibnu Taimiyah dan CS-nya.” (SBSSW, hal. 220). Begitu juga: “Sudah jelaslah, siapakah sebenarnya yang mereka ikuti, yakni Ibnu Taimiyah, Ibnu Abdul Wahab dan CS-nya, yang mereka klaim sebagai ‘Salaf’.”(SBSSW, hal. 222). Menyebut ulama besar dengan kata “CS-nya” bukanlah adab manusia terpelajar. Ia hanya pantas dilakukan manusia-manusia otak kotor. Lebih buuk lagi si penulis mengatakan: “Begitu juga dengan Muhammad bin Abdul Wahhab, tokoh pendiri Wahabi —sosok temperamental dan kejam yang telah membunuhi ribuan umat Islam semasa hidupnya—, hampir semua ulama yang hidup sezaman dengannya menganggap ajarannya sesat.” (SBSSW, hal. 223). [11] Penulis ini tentu saja tidak segan melecehkan ulama-ulama besar lain, seperti Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Ibnu Utsaimin, Syaikh Al Albani, Syaikh Ibnu Jibrin, Syaikh Shalih Fauzan, bahkan melecehkan dewan fatwa Saudi, Lajnah Da’imah. Kalau sudah begini, apalagi yang bisa diharapkan dari penulis ini? Masih adakah kebaikan disana?

[11] Jahatnya, si penulis sama sekali tidak pernah bisa membuktikan, bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah membunuh manusia, apalagi sampai ribuan manusia. Itu tak ada bukti valid yang bisa dipegang.

(8). Dalam mengkritik gerakan dan paham Wahabi, penulis jelas-jelas menggunakan metode TAJASSUS alias mencari-cari kesalahan. Cara demikian biasanya dilakukan kalangan intelijen anti Islam, untuk mengadu-domba Ummat. Metode tajassus bukan metode ilmiah, tetapi termasuk metode khianat dalam ilmu. Metode tajassus pertama kali dikembangkan oleh Fir’aun dan Bani Israil, ketika mereka selalu mencari-cari kesalahan Musa As. Bahkan tajassus itu termasuk perbuatan haram. Dalam Al-Qur’an disebutkan, “Wa laa tajas-sasuu” (dan janganlah kalian saling mencari-cari kesalahan). (QS. Al-Hujuraat [49] : 12). Di hadapan sikap tajassus, tidak ada seorang manusia pun yang selamat dari kesalahan. Namanya juga mencari-cari kesalahan; kalau tidak ketemu, ya dipaksakan agar tetap ada kesalahan. Dalam buku SBSSW itu penulis menyebut fatwa Syaikh Bin Baz tentang “bumi tidak berputar”. Di antara sekian banyak fatwa-fatwa Syaikh Bin Baz yang bermanfaat, sehingga Dr. Yusuf Al-Qaradhawi pernah menyebut beliau sebagai Al-Imamul Jazirah, ternyata oleh penulis diambil fatwa tentang “bumi tidak berputar ini” (hal. 220-221). Begitu pula penulis ini menyebut pendapat Ibnu Taimiyyah yang ganjil tentang “siksa neraka untuk orang kafir tidak kekal” (hal. 184). Pendapat-pendapat seperti ini bukan pendapat utama mereka. Ia adalah pendapat “recehan” di sisi sedemikian banyak pendapat-pendapat mereka yang berkualitas. Tetapi karena memang dasarnya benci, apapun kesalahan yang dijumpai akan dipakai untuk menyerang.

Salah satu yang lucu ialah ketika si penulis mengutip pandangan Dr. Said Ramadhan Al Buthi dalam bukunya, As-Salafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarakah Laa Madzhab Islami. (SBSSW, hal. 27). Dengan dasar buku ini dia menuduh ulama-ulama Wahabi tidak mengikuti madzhab apapun. Padahal para ahli-ahli Islam sudah mafhum, bahwa ulama-ulama Saudi, termasuk Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, bahkan Ibnu Taimiyyahrahimahullah, mereka itu pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal. Ini sangat nyata dan jelas.

Dalam soal “Al-Qur’an adalah Kalamullah” jelas-jelas mereka mengikuti akidah Imam Ahmad. Begitu pula Bahkan Syaikh Al Albani rahimahullah telah menyusun kitab Al-Irwa’ul Ghalil, sebanyak total 9 jilid. Kitab ini berisi takhrij hadits-hadits yang termuat dalam kitab Manarus Sabil yang menjadi pegangan fiqih madzhab Hanbali. Ulama-ulama Wahabi pun giat memberikan syarah terhadap kitabAqidah Thahawiyyah, yang bersumber dari akidah Imam Abu Hanifahrahimahullah. Dan begitu bencinya penulis ini kepada Wahabi, sampai dia menulis: “Pembagian tauhid semacam itu tidak terdapat juga di dalam karya murid-murid Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal seperti Ibnu Al Jauzi dan Al Hafizh Ibnu Katsir.” (SBSSW, hal. 236). Padahal Imam Ahmad hidup di abad ke-3 Hijriyyah, sedangkan dua ulama itu hidup di abad kemudian. Ibnu Al Jauzi wafat pada akhir abad ke-6 Hijriyah, tepatnya pada tahun 596 H. Sedang Al Hafizh Ibnu Katsir, beliau hidup sezaman dengan Ibnu Taimiyyah di abad ke-8 Hijriyyah. Tidak mungkin ulama abad ke-6 atau ke-8 menjadi murid ulama abad ke-3. Ini menunjukkan betapa dengkinya si penulis itu. Karena kedengkian memuncak, akhirnya terbuka sendiri aib-aibnya.

Kalau dunia ilmiah sudah dimasuki metode tajassus ini, hasilnya hanyalah kerusakan, dendam, dan kesesatan. Tidak ada kebaikan dari metode yang dibangun di atas cara haram. Bukankah tajassus diharamkan dalam Al-Qur’an?

(9). Penulis ini (Syaikh Idahram) termasuk orang-orang yang sudah tertimpa penyakit “gila”. Di dalam bukunya ini tercampur-baur berbagai macam pemikiran, akidah, fitnah, kebohongan, dendam kesumat, kecurangan, dan sebagainya. Bahkan di dalamnya terdapat banyak kontradiksi-kontradiksi.

Contohnya, perhatikan kalimat berikut ini: “Kita harus melepaskan pemahaman-pemahaman tersebut dan kembali kepada Al-Qur’an, Sunnah Rasul Saw, dan ilmu bahasa Arab sebagai alatnya. Lalu, kita pakai otak kita untuk memahami dan menelaah perkara-perkara yang diperselisihkan tersebut, sehingga akan jelas bagi kita saat itu, mana pendapat yang benar dan mana yang salah di antara mereka. Kita kembali kepada pemahaman kita, bukan kepada pemahaman Salaf.”(SBSSW, hal. 211). Lihatlah betapa beraninya penulis dalam meninggikan otaknya di atas ilmu para Salaf yang mulia. Kemudian baca kalimat berikut ini:“Sebab, jika semua orang Arab ‘berhak’ untuk menafsirkan Al-Qur’an sekehendak hatinya, tanpa mengerti rambu-rambunya, dan boleh berijtihad tanpa keahlian yang dia miliki, maka semua orang Arab menjadi ulama. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Tidak semua orang Arab mengerti agama, bahkan banyak dari mereka yang ‘lebih dajjal’ daripada dajjal. Itulah sebabnya, kenapa tidak sembarang orang boleh berijtihad dan mengeluarkan fatwa.” (SBSSW, hal. 224).Dua kutipan ini tentu sangat mencengangkan; satu sisi memberi kebebasan penuh kepada akal untuk mencerna perselisihan-perselisihan agama; di sisi lain tidak boleh sembarangan memahami agama dengan akal sendiri. Padahal jarak antara kalimat pertama dan kedua hanya beberapa halaman saja.

Kegilaan itu merata dalam buku si penulis. Ketika dia membahas hadits-hadits tentang Najd, dia mengklaim bahwa Najd adalah tempatnya fitnah, tempatnya puncak kekafiran, tempatnya “tanduk setan”. Tetapi ketika membahas tentang kekejaman kaum Wahabi (seperti yang dituduhkan penulis), dia menyebutkan kota-kota di Najd yang menjadi sasaran keganasan kaum Wahabi, seperti Thaif, Qashim, Ahsa, Uyainah, Riyadh, Syammar, dan lainnya. (Lihat SBSSW, hal. 77-106). Logisnya, kalau dia benci wilayah Najd karena disana ada fitnah, puncak kekafiran, dan “tanduk setan”; seharusnya dia mendukung serangan kaum Wahabi. Iya
kan? Tapi ya kita tahu, tujuan dari semua ini semata menyerang Wahabi, tanpa toleransi, apapun caranya.

(10). Dan terakhir, di antara bahaya terbesar di balik tersebarnya buku ini, adalah suatu kenyataan, bahwa Wahabi hanya merupakan SASARAN KESEKIAN dari serangan orang-orang ini. Serangan ini merupakan satu agenda, di samping agenda-agenda serangan lain. Tentu kita masih ingat munculnya buku, “Ilusi Negara Islam”. Disana gerakan-gerakan dakwah Islam internasional juga mendapatkan stigmatisasi, dengan label “gerakan transnasional”. Tujuannya, agar masyarakat Indonesia membenci gerakan-gerakan dakwah dari luar negeri itu. Kita menyadari, kaum Syiah, penganut SEPILIS, Yahudi-Nashrani, orientalis Barat, aliran-aliran sesat, mereka sudah sepakat untuk menghancurkan fondasi ajaran Islam dari dasar-dasarnya. Siang malam mereka berjuang untuk merealisasikan tujuan penghancuran Akidah, Syariat, dan Peradaban Islam. Seperti LSM Setara Institute. Beberapa waklu lalu mereka mengeluarkan hasil penelitian seputar radikalisasi keagamaan di Indonesia. Mereka pun mengeluarkan rekomendasi-rekomendasi, salah satunya menyebut pengajaran nasyid di TK-TK Islam memicu radikalisasi. Serangan kepada dakwah Wahabi ini hanyalah satu serangan di antara sekian banyak serangan yang dilancarkan kaum Islam phobia. Pada gilirannya nanti, jamaah-jamaah dakwah Islam akan menjadi target selanjutnya. Bahkan institusi pesantren, sekolah Islam, media Islam, penerbit Islam, bisnis Muslim, dll. akan menyusul. Itu hanya tinggal menunggu waktu. Cara kaum sesat, kufar, dan anti Islam dalam menyerang agama, mudah dikenali, dengan petunjuk Allah Ta’ala.

Adalah sangat ‘ajaib’ ketika Said Agil Siraj, Ketua PBNU, memberikan dukungan terbuka terhadap buku SBSSW ini. Apa tujuannya? Apakah ingin menghancurkan dakwah Islam, ilmu Syariat, merusak persatuan Ummat, dan mencerai-beraikan proyek-proyek pembangunan Islam selama ini? Dimana kualitas seorang Said Agil Siraj sebagai “profesor doktor” dan Ketua PBNU? Tidak ingatkah Said Agil Siraj bahwa dia mendapat gelar doktor setelah menamatkan studi di Universitas Ummul Qura’, yang dikelola kaum Wahabi?
Kalau kata orang Jawa Timur, “Yo, sing nduwe isin-lah, Pak!” [12] Anda sudah kenyang mendapat fasilitas dari kaum Wahabi, bahkan anak-anak Anda lahir di bawah kemurahan kaum Wahabi, lalu kini Anda ikut menyerang paham Wahabi dengan membabi-buta. Apakah dulu di pesantren Anda tidak diajari pelajaran adab seorang Muslim?

[12] Artinya, “Ya, hendaklah Anda punya rasa malu, Pak!”

Kalau membaca buku SBSSW itu, saya yakin bahwa posisi Said Agil Siraj ini —semoga Allah membalas perbuatannya secara adil dan menjadi ibrah besar bagi kaum Muslimin di Nusantara— bukan hanya sebagai pemberi kata pengantar. Saya yakin, Said Agil Siraj terlibat langsung di balik proyek penerbitan buku-bukupropaganda ini. [13]

[13] Menurut Ustadz Hartono Ahmad Jaiz, sosok Said Agil Siraj ini pernah dikafirkan oleh 12 orang kyai. Ada pula yang melayangkan surat ke Universitas Ummul Qura, meminta supaya mereka mencabut gelar doktor Said Agil. (50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, karya Budi Handrianto, hal. 160. Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2007).

Demikianlah sekilas pandangan tentang buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, karya Syaikh Idahram. Buku ini andaikan ditulis dengan semangat kejujuran, metode ilmiah Islami, serta upaya melakukan koreksi terhadap sesama Muslim, dalam rangka memperbaiki kehidupan Ummat; tentu upaya itu akan disambut dengan rasa syukur. Sekurangnya, ia akan dipandang sebagai sumbangan ilmiah berharga. Tetapi dengan performa judul, metode penulisan, serta sekian banyak kecurangan yang dilakukan penulis; tidak diragukan lagi bahwa buku SBSSW itu ditujukan untuk merusak kehidupan kaum Muslimin.

Secara pribadi saya menghimbau agar para ahli-ahli Islam segera “turun tangan” untuk membuat analisis obyektif atas buku SBSSW itu. Kemudian hasilnya, silakan sampaikan kepada khalayak kaum Muslimin. Saya sendiri berpandangan, buku ini sangat berbahaya, dan sudah selayaknya di-black-list, atau ditarik dari peredaran.

Akhirul kalam, semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala selalu merahmati kaum Muslimin di negeri ini, menolong mereka atas segala prahara berat yang menimpa, menyantuni mereka atas segala konspirasi jahat yang dilontarkan musuh-musuh Islam, serta meluaskan hidayah ke seluruh sudut negeri, agar lebih banyak manusia yang hidup di atas keshalihan; bukan di atas khianat, kedengkian, dan permusuhan terhadap Islam.

Allahumma amin.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

Ardhullah, 11 Juli 2011.
AM. Waskito.

IbnuAbdullooh@

Sumber…nur-muslim.blogspot.com

Kutipan

AL-QUR`AN KALAM ALLAH, BUKAN MAKHLUK

5 Mar
Al Qur'an Al Kareem

Al Qur’an Al Kareem (Photo credit: 3bdalla__)

AL-QUR`AN KALAM ALLAH, BUKAN MAKHLUK

 

Bismillahirrohmanirrohiim

 

 

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan dalam kitab al-‘Aqidah al-Wasithiyah:

Termasuk beriman kepada Allah dan kepada kitab-kitab Allah ialah, beriman bahwa al-Qur`an Kalam Allah yang diturunkan dan bukan makhluk. Dari Allah al-Qur`an bermula dan kepada-Nya ia akan kembali. Dan sesungguhnya, Allah berbicara dengan al-Qur`an ini secara hakiki. Sesungguhnya al-Qur`an yang telah Allah turunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah perkataan Allah yang sebenarnya, bukan perkataan selain-Nya. Tidak boleh melepaskan kata-kata bahwa al-Qur`an adalah hikayat dari kalam Allah atau ungkapan tentang kalam Allah. Bahkan apabila manusia membacanya atau menuliskannya dalam mushaf-mushaf, al-Qur`an tetap tidak keluar dengan demikian dari keadaannya sebagai kalam Allah yang sebenarnya. Sesungguhnya suatu perkataan hanya akan disandarkan secara hakiki kepada yang sejak semula mengatakannya, dan tidak disandarkan kepada orang yang mengatakannya sebagai penyampai. Al-Qur`an adalah kalam Allah; baik huruf-hurufnya maupun makna-maknanya. Kalam Allah bukan hanya huruf-huruf saja tanpa makna, dan bukan pula makna-makna saja tanpu huruf.[1]
Senada dengan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, yaitu perkataan Imam Thahawi rahimahullah. Beliau berkata: “Sesungguhnya al-Qur`an adalah kalam Allah, dari-Nya ia muncul sebagai perkataan, tanpa boleh dipertanyakan kaifiyah (bentuk)nya. Allah telah turunkannya kepada Rasul-Nya sebagai wahyu. Kaum Mukminin mempercayai al Qur`an benar-benar demikian keadaannya, dan mereka meyakini bahwa al-Qur`an kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sebenarnya; ia bukan makhluk seperti perkataan manusia. Maka barangsiapa yang mendengar al-Qur`an, lalu ia beranggapan bahwa al-Qur`an adalah perkataan manusia, maka ia kafir; Allah mencelanya, mencacatnya dan mengancamnya dengan Neraka Saqar, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“(Orang kafir itu berkata): “Al-Qur`an ini tidak lain hanyalah perkataan manusia”. [al-Muddatstsir/74:25]. Kita memahami dan kita meyakini bahwa, al-Qur’an itu adalah perkataan Pencipta manusia, tidak serupa dengan perkataan manusia.[2]

Pensyarah kitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, yaitu Imam Ibnu Abi al-Izz al-Hanafi rahimahullah, terhadap apa yang dikatakan Imam Thahawi rahimahullah, ia mengatakan: “Ini merupakan kaidah dan pokok yang mulia dan agung di antara pokok-pokok agama. Banyak kelompok manusia yang tersesat dalam masalah ini. Apa yang dikatakan oleh Imam Thahawi rahimahullah ini merupakan kebenaran yang telah dibuktikan oleh dalil-dalil al-Qur`an dan as-Sunnah bagi siapa saja yang merenungkannya. Juga telah disaksikan oleh fitrah-fitrah sehat, fitrah yang belum mengalami perubahan akibat syubhat-syubhat, keragu-raguan dan pendapat-pendapat batil”[3]

Demikianlah madzhab Ahlu Sunnah wal jama’ah.

PANDANGAN KELOMPOK AHLI BID’AH TENTANG AL-QUR`AN DAN KALAM ALLAH

Di bawah ini pemaparan Syaikh Shalih al-Fauzan –hafizhahullah- secara garis besar (diterjemah secara ringkas dan bebas, Pen.) tentang beberapa perkataan kelompok ahli bid’ah mengenai al-Qur`an dan kalam Allah. Beliau menyebutkan sebagai berikut.[4]

Pertama : Perkataan Jahmiyah. 

Mereka mengatakan, bahwa Allah tidak berbicara, tetapi Allah menciptakan perkataan pada diri selain-Nya dan menjadikan yang selain-Nya itu menjadi pengungkap perkataan Allah. Disebutkannya suatu perkataan sebagai perkataan Allah menurut mereka adalah majaz (kiasan), bukan hakiki, sebab Allah-lah yang menciptakan perkataan itu, sehingga Dia disebut sebagai Yang berkata, karena Dialah pencipta perkataan itu pada diri selain-Nya

Perkataan Jahmiyah ini batil, bertentangan dengan dalil-dalil sam’i (al-Qur`an dan as-Sunnah) maupun dalil-dalil akal. Juga bertentangan dengan perkataan para salaf dan imam-imam kaum Muslimin. Karena sesungguhnya tidaklah masuk akal seseorang disebut sebagai orang yang berkata, kecuali jika perkataan itu benar-benar ada pada dirinya. Bagaimana mungkin Allah disebut telah berkata, padahal yang berkata adalah selain Allah? Bagaimana mungkin disebut perkataan Allah, padahal ia adalah perkataan selain-Nya?

Perkataan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah di atas, bahwa “dari Allah al-Qur`an bermula dan kepada-Nya ia akan kembali. Dan sesungguhnya Allah berbicara dengan al-Qur`an ini secara hakiki. Sesungguhnya al-Qur`an yang telah Allah turunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah perkataan Allah yang sebenarnya, bukan perkataan selain-Nya”.

Maksud Syaikhul-Islam dengan perkataannya ini adalah, untuk membantah orang-orang Jahmiyah yang mengatakan bahwa al-Qur`an bermula dari selain Allah, dan bahwa Allah tidak berbicara dengan al-Qur`an itu secara hakiki, tetapi majaz. Al-Qur`an (menurut mereka) adalah perkataan selain Allah yang disandarkan sebagai perkataan Allah karena Dialah Penciptanya.

Kedua : Perkataan Kullabiyah, para pengikut ‘Abdullah bin Sa’id bin Kullab. 

Mereka beranggapan bahwa al-Qur`an merupakan hikayat dari kalam Allah. Karena kalam Allah menurut mereka adalah ma’na yang ada pada Dzat Allah yang senantiasa tetap pada-Nya, sebagaimana tetapnya sifat hidup dan sifat ilmu pada Dzat Allah. Tidak berkaitan dengan kehendak dan iradah Allah. Makna yang ada pada Dzat Allah ini bukan makhluk. Tetapi lafazh-lafazh yang keluar yang terdiri dari huruf dan suara adalah makhluk. Lafazh-lafazh ini merupakan hikayat dari kalam Allah, dan bukan kalam Allah itu sendiri.

Ketiga : Perkataan kaum Asy’ariyah, orang-orang yang mengaku pengikut Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari rahimahullah. 

Mereka mengatakan bahwa al-Qur`an adalah ungkapan tentang kalam Allah. Sebab kalam Allah menurut mereka adalah: Ma’na yang ada pada dzat Allah. Ma’na ini bukan makhluk. Adapun lafazh-lafazh yang dibaca, merupakan ungkapan tentang makna yang ada pada Dzat Allah. Lafazh-lafazh ini adalah makhluk. Ia merupakan ungkapan dari kalam Allah dan tidak dikatakan hikayat dari kalam Allah.

Sebagian ulama mengatakan, perselisihan pendapat antara Asy’ariyah dengan Kullabiyah hanyalah perselisihan secara redaksional saja. Sebenarnya tidak ada perselisihan di dalamnya. Sebab, baik Asy’ariyah maupun Kullabiyah sama-sama mengatakan bahwa al-Qur`an terdiri dari dua macam. Yaitu, terdiri dari lafazh dan makna. Lafazhnya adalah makhluk, yakni lafazh-lafazh yang ada dan dibaca ini. Sedangkan maknanya bersifat qadim (sejak dahulu); ia ada pada Dzat Allah. Ia merupakan makna yang satu, tidak dapat terbagi-bagi dan tidak dapat berbilang. Ini bukan makhluk.

Inti perkataan Asy’ariyah dan perkataan Kullabiyah, andaikata tidak dapat dikatakan sama, maka paling tidak saling berdekatan.

Kedua pendapat itu sama-sama batil. Sebab al-Qur`an tidak dapat dikatakan hikayat dari kalam Allah seperti perkataan Kullabiyah, dan tidak dapat pula dikatakan ungkapan dari kalam Allah seperti perkataan Asy’ariyah. Bahkan al-Qur`an adalah kalam Allah itu sendiri, baik lafazh maupun maknanya, di manapun didapatkan, baik dihafal dalam dada-dada manusia maupun ditulis dalam mushaf-mushaf. Al-Qur`an tetap merupakan kalam Allah yang sebenarnya, bukan makhluk.

Keempat : Perkataan Mu’tazilah. 

Mereka mengatakan bahwa, kalam Allah hanyalah huruf tanpa makna. Menurut mereka, apa yang disebut perkataan atau kalam, ketika dinyatakan secara mutlak hanyalah nama bagi suatu lafazh saja. Sedangkan makna bukan merupakan bagian dari apa yang disebut kalam. Makna hanyalah sesuatu yang ditunjukkan oleh apa yang disebut kalam.

Pendapat Mu’tazilah ini merupakan kebalikan dari pendapat Asy’ariyah dan Kullabiyah yang mengatakan, bahwa kalam Allah adalah makna saja tanpa huruf.

Demikian secara ringkas pemaparan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah.

KESIMPULAN

Semua pernyataan kelompok di atas adalah batil. Yang benar ialah pernyataan Ahlu Sunnah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah dan Imam Thahawi di atas. Salah satu dalilnya, ialah seperti yang dikemukakan oleh Syaikh Shalih al-Fauzan, yaitu firman Allah lSubhanahu wa Ta’ala:

“Dan jika seseorang dari orang-orang musyirikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah”. [at-Taubah/9:6].

Maksud mendengar pada ayat ini, yaitu mendengar melalui bacaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kedudukannya sebagai penyampai. Sedangkan bacaan al-Qur`an dari Rasulullah yang didengar itu tetap disebut kalam Allah. Maka hal ini membuktikan bahwa perkataan hanyalah diakukan kepada yang sejak semula mengatakannya. Bukan diakukan kepada penyampainya.[5]

Imam Syafi`i rahimahullah juga mengatakan bahwa al-Qur`an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Dan barangsiapa yang mengatakan al-Qur`an makhluk, maka ia kafir [6]. Imam Ahmad bin Hanbal pun mengatakan hal yang sama dalam Ushulus-Sunnah[7].

Demikianlah madzhab Ahlu Sunnah tentang al-Qur`an dan tentang kalam Allah. Wallahu Waliyyut-Taufiq.
_______
Footnote
[1]. Lihat Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, Cetakan VI, Tahun 1413 H/1993 M, halaman 136.
[2]. Lihat Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, Imam Ibnu Abi al-Izz al-Hanafi; Tahqiq wa Muraja’ah: Jama’ah minal-‘Ulama; Takhrij: Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani. Penerbit al-Maktab al-Islami, Beirut, Cetakan IX, Tahun 1408 H/1998 M, halaman 168.
[3]. Lihat Lihat Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, Imam Ibnu Abi al-Izz al-Hanafi; Tahqiq wa Muraja’ah: Jama’ah minal-‘Ulama; Takhrij: Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
[4]. Lihat Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, halaman 136-139.
[5]. Lihat Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, halaman 138.
[6]. Lihat catatan kaki dari kitab Ushulus-Sunnah, Imam Ahmad dari riwayat ‘Abdus bin Malik al-Aththar, Syarh dan Ta’liq: al-Walid bin Muhammad Nabih bin Saif an-Nashr. Taqdim dan Ta’liq: Syaikh Muhammad bin ‘Id al-Abbasi. Penerbit Maktabah Ibnu Taimiyah, Kairo, distribusi Maktabah al-‘Ilmu, Jeddah, Cetakan I, 1416 H./1996 M, halaman 50.
[7]. Lihat kitab yang sama pada ashl yang ke 13

IbnuAbdullooh@

Sumber….Nur-muslim.blogspot.com

Kutipan

BUKU PUTIH ASY SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB –RAHIMAHULLAAHU TA’ALA-

5 Mar
Miniature of Muhammad re-dedicating the Black ...

Miniature of Muhammad re-dedicating the Black Stone at the Kaaba. From Jami Al-Tawarikh, c. 1315 (Photo credit: Wikipedia)

BUKU PUTIH ASY SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB –RAHIMAHULLAAHU TA’ALA-

 

Bismillahirrohmanirrohiim

 

 

Diambil dari Kitab : Tashhihul Mafahimil Khati’ati

Karya: Syaikh DR. Shalih bin Abdul Aziz As-Sindy ( Dosen Aqidah Universitas Islam Madinah )

 Diterjemahkan oleh: Nur Kholis Kurdian, Lc. (Dosen Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafii, Jember, Jawa Timur)

 

Dikoreksi ulang oleh: Abdullah Zaen, Lc. & Muhammad Yasir, Lc.

Segala puji bagi ALLAH –ta’ala– semata. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah, keluarga dan para sahhabatnya. Dari dulu hingga sekarang, perdebatan serta perbincangan seputar Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah– dan jalan dakwahnya, terus berkecamuk antara mereka yang pro dan yang kontra.

Dan yang mengherankan dari dakwaan mereka yang kontra -yang melontarkan tuduhan-tuduhan kepada Syaikh- adalah: omongan mereka yang kosong dari dalil berupa bukti dari perkataan Syaikh atau tulisan beliau di dalam kitab-kitabnya, yang ada hanyalah tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang yang terdahulu, lalu ‘difotokopi’ oleh para pewaris mereka.

Kami kira setiap orang yang obyektif sepakat bahwa jalan yang paling tepat untuk mengenal hakikat pemikiran seseorang adalah dengan cara kembali langsung kepada orang tersebut, atau kepada referensi-referensi yang otentik. Alhamdulillah tulisan-tulisan serta ucapan-ucapan Syaikh (Muhammad bin Abdul Wahhab-red) sampai saat ini masih ada dan mudah untuk didapatkan. Dengan menelaah tulisan-tulisan tersebut, benar tidaknya isu-isu yang sementara ini tersebar di masyarakat akan terlihat. Adapun tuduhan-tuduhan yang tanpa bukti, maka ini bagaikan fatamorgana yang tidak ada hakikatnya.

Di tulisan ini, kami akan memaparkan ucapan-ucapan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang kami nukil dengan penuh amanah dari referensi-referensi otentik yang menghimpun perkataan-perkataan beliau. Peran kami dalam buku ini hanyalah sebagai penyusun.

Buku ini memuat jawaban-jawaban Syaikh sendiri, atas tuduhan-tuduhan utama yang dilontarkan ‘para lawan’ dakwah beliau. Kami amat yakin insyaAllah dengan taufik dari Allah, tulisan ini akan cukup untuk menjelaskan al-Haq bagi mereka yang memang menginginkannya.

Adapun mereka yang memusuhi dan menentang perjuangannya, yang tidak henti-hentinya menebarkan tuduhan-tuduhan dusta, maka kami katakan kepada mereka: ‘Sadarlah, karena sesungguhnya kebenaran telah jelas, agama Allah -ta’ala- akan menang dan cahaya matahari yang bersinar terang tidak bisa dihalangi dengan kedua telapak tangan.’

Perkataan-perkataan beliau dalam buku ini meluluh-lantakkan tuduhan-tuduhan mereka. Jika mereka memiliki bukti dari perkataan beliau yang menguatkan tuduhan tersebut maka keluarkanlah dan jangan disembunyikan. Jika mereka tidak bisa mendatangkannya, maka kami menasihatkan, “Telusurilah jalan Allah ta’ala dengan hati yang bersih dari hawa nafsu dan kefanatikan terhadap suatu golongan. Mohonlah kepada-Nya agar Dia menunjukkan kebenaran lalu ikutilah kebenaran itu. perhatikanlah perkataan-perkataan beliau, kemudian renungkanlah; apakah beliau datang membawa ajaran baru yang tidak ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah?”

Kemudian renungkan kembali: Adakah jalan keselamatan selain dengan mengucapkan kebenaran serta membenarkannya? Jika telah datang kebenaran kepadamu maka terimalah dan ikutilah kebenaran tersebut; karena yang demikian lebih baik dari pada bersikeras dalam kebatilan. Hanya kepada Allah-lah semuanya akan kembali.

Hakikat Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

Alangkah baiknya kami paparkan terlebih dahulu penjelasan singkat tentang hakikat dakwah yang beliau serukan. Karena hingga saat ini ‘para musuh’ dakwah beliau masih terus membangun dinding tebal di hadapan orang-orang awam, sehingga mereka terhalang untuk melihat hakikat dakwah sebenarnya yang diusung oleh beliau.

Syaikh berkata, “Segala puji dan karunia dari Allah, serta kekuatan hanyalah bersumber dari-Nya. Sesungguhnya Allah ta’ala telah memberikan hidayah kepadaku untuk menempuh jalan lurus, yaitu agama yang benar; agama Nabi Ibrahim yang lurus, dan Nabi Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik. Alhamdulillah aku bukanlah orang yang mengajak kepada ajaran sufi, ajaran imam tertentu yang aku agungkan atau ajaran orang filsafat.

Akan tetapi aku mengajak kepada Allah yang tiada sekutu bagi-Nya, dan mengajak kepada sunnah Rasul-Nya -shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang telah diwasiatkan kepada seluruh umatnya. Aku berharap untuk tidak menolak kebenaran jika datang kepadaku. Bahkan aku jadikan Allah, para malaikat-Nya serta seluruh makhluk-Nya sebagai saksi bahwa jika datang kepada kami kebenaran darimu maka aku akan menerimanya dengan lapang dada. Lalu akan kubuang jauh-jauh semua yang menyelisihinya walaupun itu perkataan imamku, kecuali perkataan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- karena beliau tidak pernah menyampaikan selain kebenaran.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/37-38).

“Alhamdulillah, aku termasuk orang yang senantiasa berusaha mengikuti dalil, bukan orang yang mengada-adakan hal yang baru dalam agama.” (Kitab Muallafat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab: V/36).

“Dan yang aku dakwahkan sebenarnya adalah: Kita tidak boleh menyembah kecuali hanya Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Sebagaimana firman-Nya, فَلا تَدْعُو مَعَ اللَّھِ أَحَداً “Maka kamu janganlah menyembah seorang pun di samping menyembah Allah.” (QS. Al-Jin: 18).

Allah ta’ala juga memerintahkan Nabi-Nya –shallallahu ‘alaihi wa sallam-,

(قُلْ إِنِّي لا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرّاً وَلا رَشَداً (الجن: 21

“Katakanlah (wahai Muhammad): Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan suatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak ( pula)kuasa memberikan suatu kemanfaatan.” (QS. Al-Jin: 21)

Inilah firman Allah –ta’ala– yang telah disampaikan dan diwasiatkan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– kepada kita… Inilah yang akan menjadi hakim antara kalian dan diriku. Jika kalian mendengar tentang dakwahku selain yang kukatakan tadi, maka ketahuilah bahwa hal itu adalah dusta.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/90-91).

Poin Pertama:Keyakinan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tentang Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Di antara tuduhan besar yang dilontarkan ‘musuh-musuh’ dakwah Syaikh kepada beliau dalam masalah ini adalah:

  • 1. Beliau dituduh tidak meyakini bahwa Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah penutup Para Nabi dan Rasul.

Demikianlah tuduhan yang tersebar, padahal semua kitab karangan beliau telah membuktikan dustanya tuduhan ini. Di antara perkataan beliau yang membantah tuduhan tersebut:

“Aku beriman bahwa Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam– adalah penutup para Nabi dan Rasul. Keimanan seseorang tidak dianggap sah hingga dia beriman dengan kenabian dan kerasulannya.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/32).

“Orang yang paling bahagia, paling besar kenikmatannya dan paling tinggi derajatnya adalah orang yang paling setia mengikuti tuntunan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dan mengamalkan ajaran beliau.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: II/21).

  • 2. Beliau dituduh tidak memenuhi hak Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– serta tidak memposisikan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– sebagaimana mestinya. Untuk menjelaskan hakikat tuduhan ini, kami akan kutip perkataan Syaikh yang menjelaskan keyakinan beliau tentang Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

Beliau berkata, “Ketika Allah –ta’ala– berkehendak untuk menampakkan Tauhid dan menyempurnakan agama-Nya di atas muka bumi, serta meninggikan kalimat Allah dan merendahkan kalimat orang-orang kafir; maka Allah -ta’ala- mengutus Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagai penutup para rasul dan kekasih Rabb alam semesta. Beliau senantiasa dikenal setiap masa, bahkan disebutkan pula dalam kitab Taurat Nabi Musa -‘alaihis salam- dan kitab Injil Nabi Isa -‘alaihis salam-. Hingga Allah –ta’ala– memunculkan mutiara tersebut di antara kabilah Bani Kinanah dan Bani Zahrah. Allah mengutus beliau di masa-masa terputusnya (pengiriman) rasul-rasul, lalu menunjukinya jalan yang lurus.

Sebelum beliau diutus menjadi Rasul, telah tampak pada dirinya tanda-tanda kenabian yang tidak bisa ditiru oleh siapapun yang hidup di zamannya. Allah –ta’ala– menumbuhkan beliau dengan sebaik-baiknya hingga menjadi orang yang paling mulia akhlaknya, paling tinggi budi pekertinya, paling tangguh kesabarannya, paling baik dengan para tetangganya, serta paling jujur tutur katanya, sehingga kaumnya menjulukinya sebagai al-amin (yang dipercaya); karena di dalam pribadinya terdapat perilaku yang baik dan sifat-sifat yang terpuji.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: II/90-91).

“Beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam– adalah pemimpin para pemberi syafa’at, dan pemberi syafa’at agung (di Padang Mahsyar), Nabi Adam -‘alaihis salam– dan keturunannya kelak berada di bawah benderanya.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/86).

“Rasul pertama adalah Nabi Nuh -‘alaihis salam-, dan rasul yang terakhir dan yang paling utama adalah nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/143).

“Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– telah menyampaikan risalah kepada umatnya dengan sempurna dan menjelaskannya dengan sebaik-baiknya. Beliau adalah penasihat terbaik bagi para hamba Allah, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Beliau telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, berjihad dengan sebenar-benarnya di jalan Allah ta’ala, serta beribadah kepada Allah –ta’ala– hingga ajalnya tiba.” (Kitab ad-Durar as Saniyyah: II/21).

Syaikh menjelaskan bahwa sabda Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “Salah seorang dari kalian tidak dianggap beriman hingga aku lebih dia cintai daripada orang tua dan anak-anaknya serta seluruh manusia”, menunjukkan akan wajibnya mengedepankan kecintaan kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– atas kecintaan kepada diri sendiri, keluarga dan harta bendanya. (Kitab at-Tauhid: hal. 108).

  • 3. Beliau dituduh mengingkari syafa’at Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

Syaikh menjawab tuduhan ini dengan berkata, “Mereka menuduh kami mengingkari syafaat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Subhanallah! ini adalah kedustaan yang besar. Bahkan kami menjadikan Allah -ta’ala– sebagai saksi, bahwasanya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– adalah orang yang diberi izin Allah –ta’ala– untuk memberikan syafa’at dan pemilik syafa’at agung (di padang mahsyar). Kami memohon kepada Allah Yang Maha Pemurah agar mengizinkan beliau untuk memberikan syafa’atnya kepada kita, dan semoga Allah ta’ala mengumpulkan kita bersamanya kelak.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/63-64).

“Yang mengingkari adanya syafa’at adalah ahlul bid’ah dan orang yang sesat. Akan tetapi syafa’at tersebut tidak akan bisa diraih kecuali setelah kita mendapatkan izin serta ridha dari Allah –ta’ala-. Sebagaimana firman-Nya,

وَلا یَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى . الانبیاء:  ٢٨

“Dan mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah.” (QS. Al- Anbiya’: 28).

Allah –ta’ala– juga berfirman.

مَنْ ذَا الَّذِي یَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِھِ . البقرة:  255

“Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa seizin dari-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 255). (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/31).

Kemudian beliau menjelaskan sebab timbulnya tuduhan dusta tersebut, “Tatkala kusebutkan kepada mereka apa yang difirmankan Allah ta’ala, apa yang disabdakan Rasul-Nya –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, serta apa yang dijelaskan para ulama dari berbagai mazhab, tentang perintah untuk memurnikan ibadah untuk Allah ta’ala semata serta larangan untuk menyerupai kaum Yahudi dan Nasrani yang menjadikan pendeta-pendeta dan rahib-rahib sebagai tuhan selain Allah –ta’ala-, mereka pun berkata, “Kamu telah melecehkan para nabi, orang-orang shalih dan para wali.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: II/50).

Poin Kedua: Tentang Ahlul Bait (Keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Di antara tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepada Syaikh: mereka mengatakan bahwa beliau membenci ahlul bait serta tidak memenuhi hak-hak mereka sebagaimana mestinya.

Jawabannya: tuduhan tersebut tidak sesuai dengan fakta; karena kenyataannya beliau mengakui kedudukan mereka dan mencintai serta menghormati mereka, bahkan beliau mengingkari orang yang benci terhadap mereka, beliau berkata, “Allah –ta’ala– telah mewajibkan kepada umat ini untuk memenuhi hak-hak keluarga Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk mengabaikan hak-hak mereka, dengan prasangka bahwa hal itu adalah bagian dari tauhid. Keyakinan seperti itu termasuk dalam sikap ghuluw (berlebih-lebihan). Yang kami ingkari adalah model pemuliaan ahlul bait dengan cara meyakini bahwa dalam diri mereka terdapat sifat-sifat ketuhanan, juga aku mengingkari orang-orang yang menghormati oknum-oknum yang mendakwakan hal tersebut.” (Kitab Muallafat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab: V/284).

Siapapun yang membaca biografi beliau, niscaya dia akan mengetahui kebenaran apa yang diucapkannya. Cukuplah sebagai bukti akan kebenaran ucapan beliau; tatkala beliau menamai enam dari tujuh orang putra-putranya dengan nama-nama ahlul bait

Poin Ketiga: Tentang Karamah Para Wali

Sebagian orang menyebarkan isu bahwa beliau mengingkari adanya karamah para wali. Perkataan beliau di berbagai pembahasan dalam kitab-kitabnya membuktikan dustanya tuduhan ini. Di antara ucapan beliau, “Aku meyakini keberadaan karamah para wali.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/32).

Sungguh mengherankan, bagaimana mungkin beliau dituduh demikian, padahal beliau adalah orang yang menyifati golongan yang mengingkari karamah para wali dengan sebutan ahlul bid’ah dan golongan sesat?! Beliau berkata, “Dan tiada yang mengingkari karamah para wali melainkan ahlul bid’ah dan golongan yang sesat.” (Kitab Muallafat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab: I/169).

Poin Keempat: Tentang Pengkafiran

Di antara tuduhan terbesar yang tersebar adalah: bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab beserta pengikutnya mengkafirkan kaum muslimin, dan meyakini bahwa nikah dengan mereka hukumnya tidak sah, kecuali jika menikah dengan orang yang sepaham dengannya atau orang yang hijrah kepadanya.

Beliau telah membantah tuduhan ini di berbagai bukunya, antara lain ucapannya, “Tuduhan bahwa aku telah mengkafirkan kaum muslimin adalah dusta besar yang diada-adakan orang yang memusuhiku; untuk menghalang-halangi orang dari agama ini. Maka aku katakan, “Maha suci Engkau (wahai Rabbku), ini adalah kedustaan yang besar.” (Kitab ad-Durar as- Saniyyah, I/100).

“Bermacam-macam tuduhan telah dilontarkan kepada kami, fitnah pun makin menjadi-jadi, mereka mengerahkan pasukan berkuda dan pasukan berjalan kaki dari kalangan iblis untuk menyerang kami. Dan di antara kebohongan yang mereka sebarkan, adalah tuduhan bahwa aku mengkafirkan seluruh kaum muslimin kecuali pengikutku, dan nikah dengan mereka hukumnya tidak sah. Untuk menukil tuduhan tersebut saja orang yang berakal merasa malu, apalagi untuk mempercayainya. Bagaimana mungkin orang yang berakal memiliki keyakinan seperti itu? Apakah mungkin seorang muslim meyakini keyakinan demikian?. Aku berlepas diri dari tuduhan itu. Tuduhan itu tidaklah dilontarkan melainkan dari orang yang tidak waras dan linglung. Semoga Allah ta’ala memerangi orang-orang yang bermaksud jelek.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah, I/80).

“Yang aku kafirkan adalah orang yang telah mengerti ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dia menghinanya, menghalangi manusia darinya, serta memusuhi penganutnya. Inilah yang aku kafirkan, dan alhamdulillah kebanyakan umat ini tidaklah demikian keadaannya.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah, I/73).

Poin Kelima: Tentang Pemikiran Khawarij

Sebagaian orang menuduh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berpemikiran Khawarij, yaitu mengkafirkan orang yang berbuat maksiat.

Beliau menjawab, “Aku tidak akan mengatakan tentang seorang pun dari kaum muslimin bahwa dia pasti masuk surga atau neraka, kecuali orang yang telah dipersaksikan demikian oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berharap semoga orang yang baik masuk surga, dan aku mengkhawatirkan orang yang berbuat jelek akan masuk neraka. Aku tidak mengkafirkan seorang pun dari kaum muslimin, serta mengeluarkannya dari agama ini, hanya karena dia terjerumus ke suatu perbuatan dosa.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah, I/32).

Poin Keenam: Tentang Menyifati Allah -ta’ala- Dengan Sifat Tubuh, Seperti Tubuhnya Makhluk

Di antara isu-isu yang tersebar di publik, bahwasanya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mensifati Allah ta’ala dengan sifat tubuh, yakni menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya.

Beliau telah menjelaskan keyakinannya dalam masalah ini, dan kenyataannya beliau amat jauh dari keyakinan batil di atas. Beliau berkata, “Termasuk bagian dari keimanan kepada Allah ta’ala adalah: mengimani sifat-sifat-Nya yang telah disebutkan dalam Kitab dan Sunnah, tanpa mengotori keimanan tersebut dengan tahrif (merubah lafaz maupun makna) dan ta’thil (pengingkaran secara total maupun parsial). Aku meyakini bahwa tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah subhanahu wa ta’ala, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Aku tidak mengingkari sifat-sifat Allah yang disebutkan di dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Aku juga tidak menyelewengkan makna sifat-sifat tersebut, atau berupaya untuk mereka-reka keadaan serta bentuk yang hakiki dari sifat-sifat itu. Aku tidak menyerupakan sifat-sifat Allah ta’ala dengan sifat-sifat makhluk-Nya; karena tidak ada yang serupa dengan-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya dan Dia tidak dianalogikan dengan para makhluk-Nya.

Sesungguhnya Allah ta’ala Maha Mengetahui Dzat-Nya serta makhluk-Nya juga Maha benar firman-Nya. Allah telah berlepas diri dari keyakinan-keyakinan golongan takyif (yang berupaya untuk mereka-reka keadaan serta bentuk yang hakiki dari sifat-sifat Allah), maupun golongan tamtsil (yang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya). Juga Allah telah berlepas diri dari keyakinan-keyakinan golongan tahrif (yang merubah lafazh maupun makna sifat-sifat-Nya) maupun golongan ta’thil (yang mengingkari sifat-sifat-Nya secara total maupun parsial). Allah –ta’ala– berfirman,

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا یَصِفُونَ. وَسَلامٌ عَلَى الْمُرْسَلِینَ. وَالْحَمْدُ لِلَّھِ رَبِّ الْعَالَمِینَ . الصافات: 180-182

“Maha suci Rabb-mu yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allah Rabb sekalian alam”. (QS.Ash-Shafat: 180-182).” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah, I/29).

“Sebagaimana telah maklum bahwa ta’thil (pengingkaran sifat-sifat Allah secara total maupun parsial) adalah lawan dari tajsim (menyifati Allah ta’ala dengan sifat jasmani seperti jasmani makhluk). Dua keyakinan ini saling bermusuhan. Dan keyakinan yang benar adalah sikap yang tengah di antara keduanya (yaitu: meyakini sifat-sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk-Nya).” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah, III/11).

Poin Ketujuh: Tentang Menyelisihi Pendapat Para Ulama

Sebagian orang mengatakan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam dakwahnya telah menyelisihi para ulama, tidak menghiraukan perkataan mereka, tidak pula merujuk kepada kitab-kitab mereka. Bahkan beliau dituduh telah menciptakan ajaran baru dan membawa pemahaman madzhab yang kelima.

Sebaik-baik bantahan atas tuduhan ini adalah pengakuan beliau sendiri, “Aku adalah orang yang bertaqlid kepada Kitab dan Sunnah, serta para salafus salih. Aku juga bergantung dengan perkataan para imam madzhab yang empat; Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Semoga Allah merahmati mereka semua.” (Kitab Muallafat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab: V/97). “Seandainya kalian mendapatkan fatwaku menyelisihi ijma’ para ulama, maka tunjukkan padaku.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/53)

“Jika kalian mengira bahwa para ulama telah menyelisihi apa yang aku ajarkan, sesungguhnya di hadapan kalian ada kitab-kitab mereka, (bacalah dengan seksama dan bandingkan dengan apa yang kuajarkan).” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: II/58).

“Aku selalu membandingkan perkataan orang yang bermadzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I maupun Hambali dengan perkataan ulama yang mu’tamad (terpercaya) dalam madzhab tersebut.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/82).

“Walhasil yang aku ingkari adalah pengkultusan terhadap selain Allah –ta’ala-. Maka jika ajaranku bersumber dari pendapatku sendiri, atau dari buku yang tidak tepercaya, atau semata-mata dari hasil taqlidku kepada para ulama mazhabku (mazhab Hambali); maka buanglah jauh-jauh ajaranku. Namun jika ajaranku bersumber dari Kitab dan Sunnah serta ijma’ para ulama dari berbagai mazhab; maka tidak layak bagi orang yang beriman terhadap

Allah –ta’ala– dan hari akhir, untuk menolaknya; hanya gara-gara kebanyakan orang di zamannya, atau di negerinya menyelisihi ajaran tersebut.” (Kitab ad-Durar as-Saniyah: I/76).

Penutup

Di penghujung tulisan ini, kami akan mempersembahkan nasihat yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab:

Nasehat pertama adalah untuk orang-orang yang memusuhi dakwah ini dan para pengikutnya, yang senantiasa berusaha untuk menghalanginya, serta melontarkan berbagai macam tuduhan batil kepadanya.

Beliau berkata, “Aku ingatkan orang-orang yang menyelisihiku: Seluruh manusia berkewajiban untuk mengikuti apa yang telah diwasiatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Bukankah kitab-kitab agama ada pada kalian? Bacalah!

Janganlah kalian mengambil sedikitpun dari perkataanku! Namun jika kalian mendapatkan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam kitab-kitab tersebut, maka amalkanlah! Meskipun kebanyakan manusia tidak mengamalkannya..

Jangan kalian menaatiku! Namun taatilah perintah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, yang telah disebutkan di dalam kitab-kitab kalian..

Ketahuilah bahwa tidak ada yang bisa menyelamatkan kalian melainkan hanya berpegang teguh kepada tuntunan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Hidup di dunia ini hanyalah sementara. Tidak pantas bagi orang yang berakal untuk melupakan surga dan neraka.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/89-90).

“Aku mengajak orang-orang yang menyelisihiku untuk berpegang dengan empat perkara: Kitabullah, Sunnah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan ijma’ para ulama. Jika kalian tetap keras kepala, maka aku mengajak kalian untuk mubahalah (masing-masing pihak di antara orang-orang yang berbeda pendapat berdoa kepada Allah ta’ala dengan sungguhsungguh, agar Allah ta’ala menjatuhkan laknat kepada pihak yang salah).” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/55).

Nasehat kedua adalah bagi orang yang sedang merasa bingung, tidak mengerti mana yang benar dan mana yang salah dalam perkara ini.

Syaikh berkata, “Mohonlah (petunjuk) dengan sungguh-sungguh kepada Allah –ta’ala-, dengan merendahkan diri kepada-Nya, terutama pada waktu-waktu yang mustajab; di antaranya pada waktu sepertiga malam yang terakhir, di akhir shalat, dan antara azan dengan iqamat.

Bacalah doa yang diajarkan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, terutama yang tertera dalam hadits shahih. Seperti doa yang senantiasa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam baca,

اللھم رب جبرائیل ومیكائیل وإسرافیل, فاطر السماوات والأرض, عالم الغیب والشھادة, أنت تحكم بین عبادك فیما كانوا.فیھ یختلفون, اھدني لما اختلف فیھ من الحق بإذنك, إنك تھدي من تشاء إلى صراط مستقیم

Wahai Rabb Jibril, Mikail dan Israfil, Pencipta langit dan bumi, Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Engkaulah yang memutuskan perselisihan di antara hamba-hamba-Mu. Dengan izin-Mu, tunjukkanlah kepadaku kebenaran yang mereka perselisihkan.

Sesungguhnya Engkaulah yang menunjuki orang yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus.”

Hendaknya engkau sering memanjatkan doa tersebut, kehadirat Dzat yang mengabulkan doa orang yang sedang tertimpa kesusahan. Dialah Yang menunjukkan Nabi Ibrahim -‘alaihis salam– kepada kebenaran, meskipun menyelisihi seluruh manusia pada zamannya. Ucapkan pula, “Wahai Dzat yang mengajari Nabi Ibrahim, ajarilah aku.”

Dan jika kamu merasa berat (ketika akan mengamalkan kebenaran) gara-gara menyelisihi masyarakatmu, maka renungkanlah firman Allah –ta’ala-,

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِیعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْھَا وَلا تَتَّبِعْ أَھْوَاءَ الَّذِینَ لا یَعْلَمُونَ. إِنَّھُمْ لَنْ یُغْنُوا عَنْكَ مِنَ اللَّھِ شَیْئاً وَإِنَّ الظَّالِمِینَ

َيعْضُھُمْ أَوْلِیَاءُ بَعْضٍ وَاللَّھُ وَلِيُّ الْمُتَّقِینَ (الجاثیة: 18-19

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sama sekali tidak akan dapat melindungimu dari (siksaan) Allah. Dan sesungguhnya orang-orang dzalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al- Jatsiyah: 18-19).

Juga firman Allah ta’ala,

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ یُضِلُّوكَ عَنْ سَبِیلِ اللَّھِ . الأنعام: 116

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al-An’am: 116)

Renungkanlah sabda Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Islam pertama kali dating dianggap asing, dan (di akhir zaman) akan kembali dianggap asing.”

Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah ta’ala tidak mencabut ilmu dari muka bumi ini dengan begitu saja, akan tetapi mencabutnya dengan meninggalnya para ulama. Jika tiada lagi ulama di muka bumi, maka manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemuka agama; sehingga mereka sendiri sesat dan menyesatkan.”

Begitu pula sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasidin sesudahku (Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib).”Dan sabda beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Dan jauhilah hal-hal baru dalam agama (bid’ah), karena semua bid’ah dalam agama adalah sesat.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/42-43).

“Dan jika telah jelas bagimu bahwa inilah kebenaran, yang tidak ada keraguan lagi di dalamnya, maka wajib bagimu untuk menyampaikan kebenaran itu kepada umat manusia dan mengajarkannya kepada kaum muslimin dan muslimat.

Semoga Allah –ta’ala– merahmati orang yang menunaikan kewajibannya, bertaubat kepada- Nya, dan mengakui kesalahannya. Ketahuilah bahwa orang yang bertaubat dari suatu kesalahan, bagaikan orang yang tidak memiliki dosa.

Semoga Allah –ta’ala– menunjukkan kepada kami, kalian dan seluruh saudara-saudara kita jalan yang dicintai dan diridhai-Nya. Wassalam.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: II/43).

Shalawat, salam serta barakah Allah semoga tetap tercurahkan kepada hamba dan Rasul- Nya, Nabi kita dan kekasih kita Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beserta seluruh isteri-isterinya,  para shahabat beliau yang mulia, dan orang-orang yang berjalan di atas manhaj beliau sampai hari Kiamat.

 

Kutipan

IKUTI SUNNAH DAN TINGGALKAN YANG MENYELISIHINYA (PERKATAAN PARA IMAM MADZHAB)

5 Mar
Is not Allah sufficient for his servant? - II

Is not Allah sufficient for his servant? – II (Photo credit: д§mд)

IKUTI SUNNAH DAN TINGGALKAN YANG MENYELISIHINYA (PERKATAAN PARA IMAM MADZHAB)

Bismillahirrohmanirrohiim

Bismillahirrahmanirrahim..

Sesungguhnya segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, kami memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, dan memohon ampunan-Nya, dan kami berlindung kepada Allah dari kejelekan diri-diri kami dan keburukan amalan-amalan kami. Barangsiapa yang diberi Hidayah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala maka tidak ada yg dapat menyesatkannya dan barangsiapa yg disesatkan oleh-Nya maka tidak ada seorangpun yg dapat member petunjuk kepadanya. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq/benar selain Allah ‘azza wa jalla satu-satunya yg tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan Rasul-Nya.

“Amma ba’d. sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah (Al-Qur’an). Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah yg diada-adakan dan setiap yang bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim).

Saudara/saudariku, ya akhi/ukhti yg saya cintai krn Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bersyukurlah kita sekalian yg masuk ke dalam Islam, satu-satunya agama yg diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Telah jelas petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang dengan mengikutinya Insya Allah, kita menjadi orang yang beruntung di dunia dan di akhirat. Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: “Setiap umatku akan masuk Surga, kecuali orang yang enggan,” Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulallah, siapakah orang yang enggan itu?’ Rasulullah menjawab, “Barangsiapa mentaatiku akan masuk Surga dan barangsiapa yang mendurhakaiku dialah yang enggan”. (HR.Bukhari dalam kitab al-I’tisham) (Hadits no. 6851).

Dari hadits di atas telah jelas bahwa menaati Rasulullah yaitu dengan mengikuti petunjuk dari Al-Qur’an dan As-Sunnah akan mengantarkan kita pada Surga Allah ‘azza wa Jalla.

As-Sunnah atau Al-Hadits merupakan wahyu kedua setelah Al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah : “Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan (sesuatu) yang serupa dengannya.” -yakni As-Sunnah-, (H.R. Abu Dawud no.4604 dan yang lainnya dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad IV/130).

Oleh karena itu telas jelas bagi kita untuk berhukum dengan As-Sunnah dan tidak menyelisihinya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki maupun perempuan mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu ketetapan dalam urusan mereka, mereka memilih pilihan lain. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh, dia telah nyata-nyata sesat.” (Q.S. Al Ahzab: 36). Hal itu juga ditegaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; janganlah kamu berbantah-bantahan, karena akan menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al Anfal: 46).

Akhi/ukhti,, banyak sekali di kalangan umat Islam yg taqlid buta dan terlalu fanatik pada salah satu madzhab, sekalipun telah datang sunnah yg lebih shahih kepadanya. Padahal, sesungguhnya telas jelas bahwa mengikuti sunnah lebih utama dan itulah jalan yang yang telah dijalani kaum salafus shalih, dari kalangan para shahabat, tabi’in dan orang-orang sepeninggal mereka – termasuk empat imam madzhab- yang telah dijadikan panutan dan teladan oleh mayoritas kaum muslimin pada zaman ini.

Mereka semua sepakat bahwa berpegang teguh dan merujuk kepada sunnah serta meninggalkan semua ucapan yang menyalahinya adalah perkara yg wajib. Bagaimana pun besarnya orang yg menyalahi sunnah tersebut, karena kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jauh lebih besar dan jalan yang ditempuhnya lebih lurus. Oleh karena itu sudah sepantasnya kita mengikuti jalan mereka, menapaki langkah mereka dan mengikuti doktrin-doktrin mereka untuk berpegang teguh pada hadits Nabi, sekalipun hadits-hadits itu menyelisihi pendapat mereka sendiri.

Untuk lebih jelasnya, simaklah perkataan para imam Madzhab untuk mengikuti Sunnah dan meninggalkan perkataan yg menyelisihinya. Mudah-mudahan di dalamnya terkandung pelajaran dan peringatan bagi orang-orang yg taqlid buta kepada mereka –terlebih lagi taqlid kepada orang-orang yg levelnya jauh di bawah mereka, dan berpegang teguh pada madzhab dan pendapat tersebut, seolah-olah wahyu yg turun dari langit. Allah ‘azza wa Jalla berfirman: “Ikutilah apa yg diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (Al-A’raaf: 3).

  •  Imam Abu Hanifah rahimahullah

Imam madzhab yg pertama adl Imam Abu Hanifah An-nu’man bin Tsabit rahimahullah. Beliau mengatakan:

  1. “jika hadits itu shahih, maka itulah madzhabku.”
  2. “tidak halal bagi seorang pun mengambil perkataan kami, selama dia belum mengetahui darimana kami mengambilnya.”(1)

Dalam riwayat lain disebutkan: “orang yg tidak mengetahui dalilku, haram baginya berfatwa dng prkataanku.” Dalam riwayat lain ditambahkan: “sesungguhnya kami adalah manusia biasa, kami mengeluarkan pendapat hari ini, kemudian kami tarik kembali keesokan harinya.” Dalam riwayat lainnya disebutkan: “wahai Ya’qub (beliau adl Abu Yusuf), jnglah kamu catat segala sesuatu yg kmu dngar dariku. Bias jadi aQ kemukakan pndapat hari ini, lalu besok aku meninggalkannya, dan aku kemukakan pendapat besok hari, lalu aku meninggalkannya di hari berikutnya.”

3. “jika aku mengemukakan pndapat yg menyalahi kitab Allah dan hadits Rasulullah, maka tinggalkanlah pendapatku.”  

  •  Imam Malik bin Anas rahimahullah

Adapun Imam Malik rahimahullah, beliau mengatakan:

  1. “aku hanyalah manusia biasa, bisa salah dan bisa benar. Oleh karena itu pertimbangkanlah pendapatku, setiap apa yg sesuai dng Al-Qur’an dan As-Sunnah ambillah dan apa yg tidak sesuai dng Al-Qur’an dan As-Sunnah tinggalkanlah.”(2)
  2. “setiap orang bisa diambil perkataannya dan bisa pula ditolak, kecuali sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.”(3)
  3. Ibnu Wahab berkata: “aku prnah mendengar Malik ditanya perihal menyela-nyela jari kaki pada saat berwudhu, dan beliau menjawab bhw yg demikian itu tdk diwajibkan atas manusia.” Dia (Ibnu Wahab) berkata: “aku membiarkannya hingga jumlah orang semakin sedikit.” Lalu aku berkata kepada beliau: “kami mempunyai sebuah hadits dalam masalah itu.” Beliau bertanya: “hadits yg mana?” aku mengatakan: “telah menceritakan kepada kami Al-Laits bin Sa’ad, Ibnu lahi’ah, Amr bin Al-Harits (dia berkata) dari Yazid bin Amr Al-Mu’afin (dia berkata) dari Abdurrahman Al-Habli dari Al-Mustaurid bin Sadad Al-Qurasy, berkata: “aku pernah melihat Rasulullah menggosok-gosokan jari kelingkingnya ke sela-sela jari kaki beliau”. Maka Malik berkata: “Hadits ini hasan. aku belum mendengar hadits ini sama sekali kecuali saat ini.” Kemudian aku mendengar setelah itu beliau ditanya lagi untuk kedua kalinya, maka beliau memerintahkan untuk menyela-nyela jari kakinya.”(4)
  • Imam Asy-Syafi’i rahimahullah

Adapun Imam Syafi’I rahimahullah, riwayat yg dinukil dari beliau dalam masalah ini lebih banyak dan lebih baik, dan para pengikutnya lebih banyak mengamalkan pesan-pesan beliau dan lebih bahagia. Di antara pesan-pesan beliau adalah:

  1. “setiap orang bisa saja datang kepadanya satu sunnah Rasul bisa pula terlewat darinya, maka pendapat apa pun yg aku katakan atau prinsip apa pun yg aku gariskan, lalu ternyata trdapat hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyalahi apa yg aku katakan, maka apa yg disabdakan oleh Rasulullah itulah pendapatku.”(5)
  2. “kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yg telah mendapat kejelasan tentang sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka tidak halal baginya meninggalkan sunnah tersebut lantaran pendapat seseorang.”(6)
  3. “jika dalam kitabku kalian dapati sesuatu yg menyalahi hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka berpendapatlah dng hadits tersebut dan tinggalkanlah apa yg aku katakan.” (dalam riwayat lain dikatakan: “maka ikutilah hadits tersebut, dan janganlah kalian menoleh pada pendapat siapa pun”).(7)
  4. “jika hadits itu shahih, maka itulah madzhabku.”(8)
  5. “kalian lebih tahu tentang hadits dan para rawinya darpada aku. Jadi, jika hadits itu shahih, maka beritahu aku. Bagaimana pun hadits itu, apakah ia berasal dari Kufah, Basrah atau pun dari Syam, hingga aku bisa berpegang teguh dng hadits itu, jika hadits tersebut memang shahih.”(9)
  6. “masalah apa pun yg di sana ada hadits yg shahih menurut penilaian ahlul hadits, lalu hadits itu berbeda dng pendapatku, maka aku tarik kembali pendapatku, baik di masa hidupku maupun sesudah matiku.”(10)
  7. “setiap apa yg aku katakan jika menyalahi hadits yg shahih dari Rasulullah, maka hadits itu lebih utama, maka janganlah kalian taqlid kepadaku.”(11)
  8. “semua hadits yg berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pendapatku, walaupun kalian tidak mendengar hadits itu langsung dariku.”(12)
  • Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah

Adapun Imam Ahmad, beliau adalah imam yg paling banyak menghimpun hadits dan paling kuat dalam berpegang teguh dengan sunnah, sampai-sampai beliau tidak suka menyusun buku-buku yg memuat masalah cabang-cabang syariat dan pendapat-pendapat manusia.(13)

Oleh karena itu beliau mengatakan:

  1. “Janganlah kalian taqlid kepadaku. Jangan pula kepada Malik, Asy-Syafi’i, Al-Auza’I dan Ats-Tsauri, tapi ambillah darimana mereka mengambil.”(14) dalam riwayat lain dikatakan: “janganlah engkau taqlid dalam urusan agamamu kepada salah seorang dari mereka. Apa-apa yg datang dari Nabi dan para shahabatnya, ambillah. Adapun para tabi’in, seseorang diberikan pilihan (untuk menerima atau menolaknya).” Suatu kali beliau berkata: “makna ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yg datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya, kemudian setelah generasi tabi’in, dia boleh memilih (untuk menerima atau menolak).”(15)
  2. “pendapat Al-Auza’I, Malik dan Abu Hanifah, semua itu hanyalah pendapat yg menurutku sama saja. Sesungguhnya hujjah itu hanya ada pada atsar (hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam).”(16)
  3. “barangsiapa menolak hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka dia berada di tepi jurang kebinasaan.”(17)

Itulah pesan-pesan spiritual para Imam yg memerintahkan untuk memegang teguh hadits Rasulullah dan melarang taqlid kepada mereka tanpa ilmu yg jelas. Pesan-pesan itu begitu jelas dan terang, tidak perlu mengundang perdebatan dan tidak perlu lagi penafsiran. Atas dasar itu, maka barangsiapa yg berpegang teguh pada semua riwayat yg valid dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sekalipun itu menyelisihi sebagian pendapat para Imam, tidaklah berarti ia meninggalkan madzhabnya dan keluar dari jalan mereka. Justru dengan sikapnya itu dia telah mengikuti jejak langkah mereka semua, dan telah memegang erat tali yg amat kuat yang tidak akan putus. Tidak demikian halnya orang-orang yg meninggalkan hadits yg valid dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, semata-mata krn menyelisihi pendapat mereka. Justru dng sikapnya itu, dia telah berbuat durhaka kepada mereka (para imam Madzhab), sekaligus menyelisihi pesan-pesan yg telah disebutkan di atas.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“maka hendaklah orang-orang yg menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yg pedih.” (An-Nur: 63).

Oleh karena itu akhi/ukhti, sudah sepantasnya kita lebih mengagungkan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, berpegang teguh dan istiQomah di atasnya, itulah ahlussunnah wal jama’ah, itulah jalan salafush shalih. Sungguh nasihat ini bukan hanya untuk akhi/ukhti semua tp untuk diri ana sendiri terutama. RoMan sangat berharap kita tidak lagi mendebatkan soal sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Marilah kita mengikutinya, tidak menolaknya dan hendaknya takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Saya dan akhi/ukhti semua tentunya cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, oleh karena itu sebagai wujud cinta kita maka sudah sepantasnya kita taat. Bila kita diharamkan akan sesuatu maka kita jauhi, dila diperintahkan kita ikuti, dan perkara syubhat (samar-samar) hendaknya kita tinggalkan agar lebih selamat. Daripada kita bergelut dng bid’ah, kenapa kita tidak perbanyak sunnah? Sungguh, masih banyak sunnah yg kita lupakan dan lalaikan. Dan betapa besar keuntungan dan keutamaan yg kita peroleh jika menegakkannya, ditambah lagi akan lebih selamat insya Allah. Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanadnya dalam Sunan Ibni majah dalam bab: “Barangsiapa yg menghidupkan Sunnah yg telah mati, dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani dengan berbagai penguatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “barangsiapa yg menghidupkan satu sunnah dari sunnahku, sehingga para manusia mengamalkannya, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala yg mengamalkannya, tiada berkurang sedikit pun pahala mereka.”

Pada akhirnya, saya memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menguatkan hatiku untuk tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman salafus shalih. Saya ingin tetap mengikuti para ulama yg hafalan dan ilmunya insya Allah terbukti dan tetap berpegang teguh pada jalan yang ditempuh oleh pendahulunya, menegakkan tauhid dan memberantas bid’ah dan kemungkaran. Karena merekalah pewaris para Nabi dan sebagaimana Al-Imam Az-Zuhri rahimahullah berkata: Ulama kita yang terdahulu selalu mengatakan: “Berpegang dengan Sunnah adalah keselamatan. Ilmu itu tercabut dengan segera, maka tegaknya ilmu adalah kekokohan Islam sedangkan dengan perginya para ulama akan hilang pula semua itu (ilmu dan agama).” (Al-Lalikai 1/94 no. 136 dan Ad-Darimi, 1/58 no. 16)

Oleh karena itu, smoga kita slalu berpegang teguh dengan Sunnah. Dan kita waspada dan tidak salah paham lagi akan bid’ah. Seperti ada yg menganggap bahwa pengeras suara ketika sholat itu bid’ah (atau disebut bid’ah hasanah). Hal ini sama sekali bukanlah bid’ah, alasannya bahwa bid’ah itu adalah dalam masalah-masalah ibadah yg tidak ada ada dasarnya, bukan dalam masalah-masalah yang non ibadah. Jadi, tradisi itu lingkupnya luas, sementara tradisi itu tidak termasuk dalam hal ini ( (bid’ah atau bukan bid’ah). Namun sebagian orang terperdaya sehingga mengingkari setiap hal yg baru dan mengategorikannya sebagai bid’ah. Sama seperti yang menganggap pengeras suara itu bid’ah, itu adalah pandangan yg salah, karena pengeras suara itu hanyalah peralatan yg dianugerahkan Allah dan dimudahkan, yang mana alat ini mengandung manfaat yg besar karena bisa mengeraskan suara dan mengantarkannya ke tempat-tempat yg jauh (Al-Bida’ wal Muhdatsat til Aqa’id, Syaikh ibnu Jibrin).

Semoga bermanfaat bagi kita semua, afwan jiddan.

Wallahu Ta’ala a’lam

Foot Note:

  1. Atsar (riwayat) dari Ibnu Abidin dalam Al-asyiyah (1/63) dan dalam risalah Rasmul Mufti (1/4) dari Majmu’ Rasail Ibnu Abidin.
  2. Atsar (riwayat) Ibnu Abdil Barr dalam Al-jami’ (2/32), dan yg lainnya.
  3. Penisbatan perkataan ini kepada Imam malik, itulah yg popular di kalangan org2 muta ‘akhirin. Perkataan ini diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Al-jami’ dan Ibnu Hazm dalam Ushulul Ahkam.
  4. Pendahuluan Al-Jarh wa At-Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim hal. 31-32.
  5. Al-hakim telah meriwayatkan perkataan ini dng sanad yg bersambung kpd Imam Asy-Syafi’i. Hal itu sebagaimana yg disebutkan dalam Tarikh Dimasyqi karya Ibnu Asakir, I’lamul Muwaqi’in dan Al-Iqadh.
  6. Ibnul Qayyim (2/361) dan Al-Fulani (hal. 68).
  7. Al-Harawi dalam Dzamul Kalam, Al-Khaththib dalam Al-Ihtijaju bis Sunnah Asy-Syafi’i, Ibnu Asakir, An-Nawawi dalam Al-Majmu’, Ibnul Qayyim dan Al-Fulani. Riwayat lainnya adalah riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dng sanad yg shahih dari beliau dng riwayat yg seperti itu.
  8. An-Nawawi dalam sumber yg telah disebutkan di atas dan Sya’rani. Beliau menisbatkan perkataan ini kepada Al-Hakim, Al-Baihaqi dan Al-Fulani. Sya’rani berkata: “Ibnu Hazm berkata: “Riwayat ini shahih, menurut beliau atau menurut imam-imam lainnya.”

Syaikh Al-Albani katakan: “perkataan ini begitu jelas mengandung makna ini. An-nawawi rahimahullah menyatakan secara ringkas sebagai berikut: “shahabat-shahabat kami (dari kalangan madzhab Syafi’i) telah mengamalkan hadits ini dalam masalah tatswib (ucapan: Ashalatu khairum Minan Naum pada adzan Shubuh), dan perihal disyariatkannya bertahallul dari Ihram krn sakit atau masalah-masalah lainnya sebagaimana yg telah dikenal dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i. Di antara shahabat kami (dari kalangan ulama Syafi’i) yg dikisahkan bahwa mereka berfatwa dng hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (walaupun konsekuensinya ia harus menyelisihi madzhabnya) adalah Abul Ya’qub Al-Buyithi dan Abul Qasim Ad-Dariki. Dan shahabat-shahabat kami dari kalangan ahli hadits yg juga menggunakan pola yg sama (yakni berfatwa dng hadits) adalah Imam Abu Bakar Al-Baihaqi dan ulama lainnya.

9. Perkataan ini ditujukan kepada Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Riwayat ini dinukil oleh Ibnu Abi Hatim dalam Adabu Asy-Syafi’I, dan yg lainnya.
10. Abu Nu’aim, Al-harawi, Ibnul Qayyim dan Al-Fulani.
11. Ibnu Abi hatim, Abu Nu’aim dan Ibnu Asakir dng sanad shahih.
12. Ibnu Abi Hatim.
13. Ibnul jauzi dalam Al-Manaqib.
14. Al-Fulani dan Ibnul Qayyim.
15. Abu Dawud dalam Masa’il Imam Ahmad.
16. Ibnu Abdil Barr dalam Al-Jami’.
17. Ibnul Jauzi.

Sumber rujukan:

  1. Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dari Takbir hingga Salam karya Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani; penerbit Pustaka Sumayah.
  2. Al-Bida’ wal Muhdatsat wama La Ashla Lahu. Judul terjemahan: Ensiklopedia Bid’ah; Kumpulan Fatwa: Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Lajnah Daimah Lil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta’ (Dewan Pertimbangan Fatwa Saudi Arabia), Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penyusun: Hammud bin Abdullah al-Mathar; penerbit Darul Haq.
  3. judul terjemahan: “100 Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang sering diremehkan” karya Haifa Abdullah Ar-Rasyid. Penerbit: Zam-Zam.

Sumber..

Nur-muslim.blogspot.com

Kutipan

Kaedah kaedah umum mengenali sosok ulama panutan

5 Mar
English: 11th Century North African Qur’an in ...

English: 11th Century North African Qur’an in the British Museum (Photo credit: Wikipedia)

Kaedah kaedah umum mengenali sosok ulama panutan

Bismillahirrohmanirrohiim

 

 

 [1]- Standar kebenaran adalah Al-Qur’an, Al-Sunah dan ijma’ ulama. Al-Qur’an dan Al-Sunah dipahami dan diamalkan sesuai pemahaman dan pengamalan para al-salaf al-shalih (generasi shahabat, tabi’in, tabi’u tabi’in) dan para ulama tsiqah yang mengikuti jejak mereka. Barang siapa berpegangan kepada ketiga sumber ajaran Islam ini, ia adalah seorang ahlu sunah wal jama’ah.

 

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ (تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِي وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتىَّ يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ).

 

 

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,” Telah kutinggalkan di antara kalian dua hal. Kalian tidak akan pernah tersesat sesudah keduanya, yaitu kitabullah dan sunahku. Keduanya tak akan pernah berpisah sampai datang kepadaku di haudh nanti.”[1]

 

 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :

 

فَمَنْ قَالَ بِالْكِتَابِ وَ السُّنَّةِ وَ ْالإِجْمَاعِ فَهُوَ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَ اْلجَمَاعَةِ

” Barang siapa berpendapat berdasar Al-Qur’an, Al-Sunah dan ijma’, ia adalah seorang ahlu sunah wal jama’ah.”[2]

 

Beliau juga mengatakan :

 

فَدِيْنُ اْلمُسْلِمِيْنَ مَبْنِيٌّ عَلَى اِتِّبَاعِ كِتَابِ اللهِ وَ سُنَّةِ نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا اتَّفَقَتْ عَلَيْهِ اْلأُمَّةُ. فَهَذِهِ الثَّلاَثَةُ أُصُوْلٌ مَعْصُوْمَةٌ . وَمَا تَنَازَعَتْ فِيْهِ اْلأُمَّةُ رُدَّ بِهِ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. 

 

 

” Dien (agama) umat Islam dibangun di atas dasar mengikuti (iitiba’) Kitabullah, Sunah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa salam dan apa yang disepakati oleh ummat (ijma’ ulama mujtahidin). Ketiga hal ini adalah dasar-dasar yang ma’shum (terjaga dan bebas dari kesalahan). Adapun persoalan yang diperselisihkan oleh umat, harus dikembalikan kepada Allah dan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam.”[3]

 

 

 

[2]- Tiada yang terjaga dan terbebas dari kesalahan dan dosa besar (ma’shum) selain para Nabi‘alaihim sholatu wa salam. Setiap ulama -–termasuk para ulama sahabat radiyallahu ‘anhum— seberapapun tinggi kapasitas keilmuannya, bisa salah dan bisa benar. Pendapat, fatwa dan tindakan mereka bisa benar dan salah. Oleh karenanya, harus dikaji dan ditimbang berdasar Al-Qur’an, Al-Sunah dan ijma’. Apabila sesuai dengan ketiganya, berarti pendapatnya benar dan harus diterima, siapapun ulama Islam tersebut. Apabila menyelisihi ketiganya, berarti pendapatnya salah dan harus ditolak, siapapun ulama tersebut.

 

 

Sebagai konskuensinya, seorang muslim tidak boleh taklid buta kepada seorang ulama dengan menerima semua pendapat, fatwa dan tindakannya tanpa menghiraukan kebenaran dan kesalahannya, kesesuaian dan penyelisihannya terhadap Al-Qur’an, Al-Sunnah dan ijma’ ulama. Para ulama sejak generasi sahabat, tabi’in, tabi’u tabi’in sampai para ulama madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad, Al-Auza’i, Laits bin Sa’ad, Thabari, Daud Al-Dzahiri dan lain-lain) telah melarang umat Islam untuk taklid buta. Mereka memerintahkan umat Islam untuk menimbang pendapat mereka dengan Al-Qur’an, Al-Sunah dan ijma’. Bila bertentangan dengan ketiga dasar tersebut, pendapat mereka harus ditinggalkan.

 

 

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّه عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ.

 

 

‘Aisyah radiyallahu ‘anha berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda : ” Siapa yang mengada-adakan hal yang baru dalam urusan kita (dien) ini, tanpa ada dasarnya dari dien, maka ia tertolak.”[4]

 

 

عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ يَقُولُ وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ هَذِهِ لَمَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا قَالَ قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ*

 

 

‘Irbadh bin Sariyah radiyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam memberi wejangan yang membuat air mata kami menetes dan hati kami bergetar. Kami berkata,” Ya Rasulullah ! Nampaknya, nasehat anda ini adalah wejangan orang yang akan berpisah. Apa yang anda pesankan kepada kami ?“

Beliau bersabda,” Aku telah meninggalkan kalian diatas jalan yang terang. Malamnya sama dengan siangnya. Tak ada seorangpun yang menyeleweng dari jalanku kecuali ia akan binasa (tersesat). Barang siapa di antara kalian dikarunia usia lebih panjang, ia akan melihat banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian senantiasa komitmen dengan sunahku dan sunah al-khulafa’ al-rasyidin al-mahdiyin. Gigitlah dengan gigi geraham kalian !”.[5]

 

 

Shahabat Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhuma berkata,” Hampir-hampir turun hujan batu dari langit atas kalian. Saya katakan “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda demikian“, tetapi kalian justru mengatakan “Abu Bakar berkata demikian.”

 

 

Demikianlah, perkataan sahabat Abu Bakar radiyallahu ‘anhu sekalipun tidak boleh digunakan untuk melawan Al-Qur’an dan Al-Sunah. Ketika khalifah Al-Manshur Al-’Abbasi menawarkan ide mewajibkan buku hadits Al-Muwatha’ kepada seluruh rakyat, imam Malik bin Anas rahimahullah selaku pengarang buku tersebut justru menolaknya. Alasannya, seratus ribu lebih para sahabat radiyallahu ‘anhum telah berpencar ke seluruh penjuru negeri Islam, dengan membawa dan menyiarkan ilmu yang diterima dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Setiap daerah mempunyai ulama dari kalangan sahabat. Otomatis, tingkat keilmuan setiap daerah berbeda dan bertingkat-tingkat. Dan tentu saja, ilmu Imam Malik belum mewakili ilmu keseluruhan sahabat yang telah terpencar tersebut.

 

 

[3]- Berdasar kedua poin di atas, kebenaran diukur lewat kesesuaian sebuah  perkara dengan Al-Qur’an, Al-Sunah dan ijma’, bukan berdasar siapa yang mengatakan atau melakukan perkara tersebut. Senioritas, tingkat keilmuan atau banyak sedikitnya pengikut tidak menjadi ukuran dan jaminan sebuah pendapat atau tindakan sesuai dengan kebenaran. Seorang muslim hanya terpaku kepada Al-Qur’an, Al-Sunah dan ijma’ ulama. Ia tidak terpaku kepada figuritas, senioritas atau kemasyhuran ulama. Pun, tidak terpaku kepada banyaknya pengikut sebuah pendapat. Ia bisa menyeimbangkan antara menghormati para ulama, dengan memilah-milah pendapat dan tindakan mereka dengan timbangan Al-Qur’an, Al-Sunah dan ijma’.

 

 

Abdullah bin Mas’ud radiyallahu ‘anhu berkata :

 

 

” Barang siapa mengambil suri tauladan, hendaklah ia mengambilnya dari orang-orang yang telah mati, karena orang yang masih hidup tidak ada jaminan selamat dari fitnah (kesesatan, ketergelinciran, kesalahan). Mereka adalah para sahabat Muhammad radiyallahu ‘anhum ; generasi paling utama umat ini, paling baik hatinya, paling mendalam ilmunya, dan paling sedikit takaluf(membuat-buat, memaksakan diri, bersikap wajar dan apa adanya). Mereka telah dipilih Allah untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan dien-Nya. Kenalilah keutamaan mereka ! Ikutilah jejak-jejak mereka ! Berpegang teguhlah dengan akhlak dan sejarah kehidupan mereka sesuai kemampuan kalian ! Karena mereka berada di atas petunjuk yang lurus.”[6]

Ali bin Abi Thalib radiyallahu ‘anhu berpesan :

إِنَّ اْلحَقَّ لاَ يُعْرَفُ بِالرِّجَالِ, اِعْرِفِ اْلحَقَّ تَعْرِفْ أَهْلَهُ

” Kebenaran tidak dikenal dari orang-orangnya. Tetapi kenalilah kebenaran, maka engkau akan tahu siapa orang-orang yang berada di atas kebenaran !”[7]

 

Para ulama salaf memberi nasehat :

 

عَلَيْكَ بِطَرِيْقِ اْلحَقِّ وَلاَ تَسْتَوْحِشْ لِقِلَّةِ السَّالِكِينَ. وَ إِيَّاكَ وَطَرِيقَ اْلبَاطِلِ وَلاَ تَغْتَرَّ بِكَثْرَةِ اْلهَالِكِينَ.

 

” Ikutilah jalan kebenaran dan jangan merasa kesepian dengan sedikitnya orang yang menempuh jalan kebenaran.

 

Jauhilah jalan kebatilan dan jangan tertipu oleh banyaknya orang-orang yang binasa (pengikut jalan kebatilan).”[8]

 

 

[4]- Salah satu penyakit yang sering menimpa aspek keilmuan umat Islam adalah ketergantungan kepada tokoh (figuritas) dan kultus individu. Karena meyakini ketokohan, senioritas atau integritas keilmuan seorang ulama tertentu, sebagian umat Islam tidak bisa memilah mana pendapat dan tindakan ulama tersebut yang harus diambil (karena sesuai dengan Al-Qur’an, Al-Sunah dan ijma’) dan mana yang harus ditolak (karena bertentangan dengan Al-Qur’an, Al-Sunnah dan ijma’). Penyakit ini dalam banyak kesempatan menjadi penyebab fanatisme golongan, bid’ah dan kesesatan.

Imam Ibnu Jauzi berkata :

وَاعْلَمْ أَنَّ عُمُوْمَ أَصْحَابَ اْلمَذَاهِبِ يَعْظُمُ فِي قُلُوبِهِمُ الشَّخْصُ, فَيَتَّبِعُونَ قَوْلَهُ مِنْ غَيْرِ تَدَبُّرٍ بِمَا قَالَ, وَ هَذَا عَيْنُ الضَّلاَلِ, ِلأَنَّ النَّطَرَ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ إِلَى ْالقَوْلِ لاَ إِلَى قَائِلِهِ. كَمَا قَالَ عَلِيٌّ لِحَارِثِ ْبنِ حُوطٍ وَقَدْ قَالَ لَهُ: أَتَظُنُّ أَنَّا نَظُنُّ طَلْحَةَ وَ الزُّبَيْرَكَانَا عَلىَ بَاطِلٍ ؟ فَقَالَ لَهُ : يَا حَارِثُ, إِنَّهُ مَلْبُوسٌ عَلَيْكَ. إِنَّ اْلحَقَّ لاَ يُعْرَفُ باِلرَّجَالِ, اِعْرِفِ اْلحَقَّ تَعْرِفْ أَهْلَهُ.

” Ketahuilah ! Sesungguhnya dalam hati kebanyakan pengikut madzhab (aliran pemikiran) ada kekaguman (figuritas) terhadap seorang tokoh (ulama). Mereka mengikuti saja pendapat tokoh (ulama) tersebut tanpa mentadaburi (mengkaji ulang) pendapatnya. Ini merupakan inti kesesatan. Karena pandangan harus ditujukan kepada pendapat, bukan kepada siapa yang mengeluarkan pendapat.

 

 

Sebagaimana pesan Ali bin Abi Thalib kepada Harits bin Huth. Saat itu Harits bertanya kepada Ali,” Apakah anda menyangka kami menganggap Thalhah dan Zubair di atas kebatilan ?” maka Ali menjawab,” Hai harits, engkau ini terkena kesamran (talbis, tipu daya setan) ! Sesungguhnya kebenaran tidak diketahui lewat orang. Kenalilah kebenaran, maka kau akan mengetahui siapa yang berada di atas kebenaran.”[9]

Imam Syamsudien Al-Dzahabi berkata :

 

 

نَسْأَلُ اللهَ اْلعَفْوَ وَ اْلمَغْفِرَةَ ِلأَهْلِ التَّوْحِيْدِ, وَ نَبْرَأُ إِلَى اللهِ مِنَ اْلهَوَى وَ اْلبِدَعِ. وَ نُحِبُّ السُّنَّةَ وَ أَهْلَهَا, وَنُحِبُّ اْلعَالِمَ عَلَى مَا فِيهِ مِنَ ْالاِتِّبَاعِ وَ الصِّفَاتِ اْلحَمِيْدَةِ. وَلاَ نُحِبُّ مَا ابْتَدَعَ فِيْهِ بِتَأْوِيلٍ سَائِغٍ.

” Kita memohon kepada Allah pemaafan dan ampunan untuk orang-orang yang bertauhid, dan kita berlepas diri kepada Allah dari hawa nafsu (kesesatan) dan bid’ah. Kita mencintai Al-Sunah dan orang-orang yang mengamalkannya. Kita mencintai ulama sebatas sifat ittiba’ dan akhlak-akhlak terpuji yang ada pada dirinya, dan kita tidak mencintai bid’ah (kesalahan) yang ia lakukan karena sebuah penafsiran yang masih diperbolehkan (ta’wil saigh).”[10]

 

 

[5]- Belajar ilmu dan ajaran agama harus selektif, karena hakekat belajar adalah mencari dalil Al-Qur’an, Al-Sunah dan ijma’ serta memahami dan mengamalkannya menurut contoh generasi salaf. Apa yang bertentangan dengan ketiga dasar sumber utama ajaran Islam ini adalah hawa nafsu dan kebatilan. Hanya ulama yang shalih dan  buku-buku agama tertentu yang mengajarkan ketiga dasar tersebut. Kebanyakan ulama dan buku-buku agama lainnya justru mengajarkan hawa nafsu dan kebatilan, atau mencampur adukkan kebenaran dengan hawa nafsu dan kebatilan (QS. Al-Jatsiyah :18, Al-An’am :153, Al-Furqan :28-29, hadits perpecahan umat menjadi 73 golongan).

 

 

Tidak sembarang ulama atau buku agama bisa dijadikan referensi belajar. Untuk itu, seorang muslim harus mengenali ciri-ciri ulama yang shalih dan rabbani (QS. Ali Imran :79), yang layak menjadi tempat acuan belajar. Di antara ciri-ciri terpenting ulama yang shalih dan rabbani sumber antara lain adalah :

  • Ikhlas.

Artinya ; ilmu dipergunakan dalam rangka mencari ridha Allah, menegakkan dien-Nya, meninggikan kalimat-Nya dan mencari kebahagiaan akhirat. Allah Ta’ala mensifati ulama su’ (ulama yang jahat dan busuk, lawan kata dari ulama yang shalih) sebagai ulama yang menggunakan ilmunya untuk mencari kenikmatan dan kedudukan dunia (QS. Ali Imran :187), sebaliknya ulama yang shalih sebagai orang yang khusyu’ dan zuhud (QS. Ali Imran : 199). Imam Al-Hasan Al-Bashri berkata :

عُقُوبَةُ اْلعُلَمَاءِ مَوْتُ اْلقُلُوْبِ, وَمَوْتُ اْلقُلُوْبِ طَلَبُ الدُّنْيَا بِعَمَلِ ْالآخِرَةِ.

” Hukuman bagi para ulama adalah matinya hati, dan matinya hati adalah beramal dengan amalan akhirat untuk tujuan duniawi.”

  • ‘Adalah.

Artinya : mengerjakan hal-hal yang diwajibkan plus sunah rawatib, menjauhi hal-hal yang diharamkan (dosa besar atau terus menerus menekuni dosa kecil) dan mengikuti adab-adab kesopanan umum yang berlaku di masyarakat. Orang yang mempunyai sifat ‘adalah disebut adil.Lawan kata adil adalah fasiq, yaitu orang yang meninggalkan hal yang diwajibkan, mengerjakan hal yang diharamkan atau mengabaikan adab kesopanan yang berlaku di masyarakat.

 

 

Ilmu dan berita dari seorang ulama yang fasiq harus dicek ulang (QS. Al-Hujurat :6), karena kesaksian seorang fasiq tidak diterima untuk selama-lamanya (QS. An-Nuur :4) dan ia tidak mendapat taufiq dari Allah (QS Al-Taubah : 24, Al-Shaf :5). Oleh karenanya, tidak boleh menerima berita, pelajaran, fatwa atau meminta fatwa kepada ulama yang fasiq. Dan salah satu dosa besar yang menyebabkan seorang ulama menjadi fasiq, adalah menyembunyikan ilmu dan tidak menyampaikannya di saat masyarakat memerlukan ilmu tersebut (QS. Al-Baqarah :159-160, 174-175, Ali Imran :187).

 

Imam Al-Khatib Al-Baghdadi berkata :

 

 

عُلَمَاءُ اْلمُسْلِمِينَ لَمْ يَخْتَلِفُوا فِي أَنَّ اْلفَاسِقَ غَيْرُ مَقْبُولِ اْلفَتْوَى فِي أَحْكَامِ الدِّيْنِ وَإِنْ كَانَ بَصِيْرًا ِبهَا

 

” Ulama Islam tidak berbeda pendapat lagi (telah sepakat) bahwa fatwa orang fasiq dalam hukum-hukum agama tidak sah (tidak diterima), sekalipun ia seorang yang ahli dalam hukum-hukum agama.”[11]

 

  • Fatwa yang benar lebih banyak dari fatwa yang salah.

Kebenaran fatwa seorang ulama menunjukkan pada dirinya ada dua sifat ulama, yaitu ia benar-benar mempunyai ilmu syar’i dan rasa takut yang mendalam kepada Allah (QS. Fathir :28, Al-Ahzab :39). Sebagai balasan atas rasa takut yang mendalam kepada Allah Ta’ala, Allah mengaruniakan kepadanya taufiq sehingga ia mengetahui kebenaran (QS. Al-Baqarah :213, Al-Anfal :29, Al-Hadid :28).

 

 

Ini bukan berarti seorang ulama harus mengerti seluruh hukum-hukum agama, atau menguasai seluruh ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits nabawi yang jumlahnya jutaan hadits. Cukup baginya bila ia mengetahui sebagian besar hukum-hukum agama, atau kadar minimal yang membuatnya layak mengemban tugas ulama. Untuk itu, jika ditanya tentang sebuah permasalahan agama yang tidak ia ketahui, ia harus jujur menyatakan “saya tidak tahu.”

 

 

Setiap ulama juga bisa salah dan benar. Karena itu, kesholihan ulama bisa dilihat dari perbandingan jumlah fatwanya yang benar dan fatwanya yang salah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan, seorang ulama yang banyak mengeluarkan fatwa kemudian 100 fatwanya salah, bukanlah sebuah aib.[12] Kesalahan beberapa fatwa seorang ulama juga tidak bisa menjadi penghalang kaum muslimin untuk menuntut ilmu dari ulama tersebut, dan menerima fatwa-fatwanya yang benar.

 

 

Namun apabila fatwa seorang ulama lebih banyak salahnya dari pada benarnya, berarti pada dirinya terdapat salah satu dari dua sifat ulama su’, yaitu kebodohan (ilmu yang tidak mumpuni), atau kesengajaan untuk mengeluarkan fatwa yang salah. Terkadang seorang ulama mempunyai ilmu yang mumpuni, namun sengaja mengeluarkan fatwa yang salah. Bentuknya, antara lain : mencampur adukkan kebenaran dengan kebatilan, menyembunyikan kebenaran dan menyelewengkan makna ayat dan hadits (QS. Al-Baqarah :42, 79, Al-Nisa’ :46). Sekalipun bentuknya beragam, namun faktor penyebabnya hanya satu, yaitu lebih mengutamakan kenikmatan duniawi atas ridha Allah dan akhirat (QS. Al-Baqarah :79, Ali Imran :187, Al-Taubah :34).

 

 

Satu hal penting yang juga harus diperhatikan, bahwa terkadang seorang ulama  fasiq bisa memberi manfaat kepada banyak manusia. Misalnya, seorang ulama menghasung kaum muslimin untuk lebih mencintai akhirat padahal ia sendiri sebenarnya memendam keinginan untuk mencari kedudukan atau harta. Atau, seorang ulama dari kelompok sesat (Khawarij, Murji-ah, Asy’ariyah dst) mendakwahi orang-orang kafir dan berhasil menarik mereka untuk masuk Islam. Ulama fasiq seperti ini seperti lilin, menerangi orang lain namun membakar dirinya sendiri, menyelamatkan masyarakat namun mencelakakan dirinya sendiri. Jadi, manfaat yang diambil oleh masyarakat dari seorang ulama belum tentu menjadi pertanda bahwa ia seorang ulama yang shalih.[13]

 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :

 

عَنْ أَبِي بَكْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى سَيُؤَيِّدُ هَذَا الدِّينَ بِأَقْوَامٍ لَا خَلَاقَ لَهُمْ *

 

“Sesungguhnya Allah akan menguatkan dien ini dengan sebuah kaum yang tidak mendapat bagian (pahala di akhirat).”[14]

 

وَإِنَّ اللَّهَ لَيُؤَيِّدُ هَذَا الدِّينَ بِالرَّجُلِ الْفَاجِرِ *

“Sesungguhnya Allah akan menguatkan dien ini dengan seorang laki-laki yang fajir (banyak berbuat dosa, fasiq).”[15]  

 

  • Mengamalkan ilmunya.

Dengan merefleksikannya dalam segala niatan, ucapan dan tindakan sehari-hari. Lalu mengajarkannya kepada orang lain, dan bersabar atas setiap gangguan yang ia rasakan selama mengajarkan dan mendakwahkan ilmunya. (QS. Al-Shaf : 2-3, Al-Baqarah : 44).

 

 

Imam Ibnu Qayyim menyindir para ulama yang tidak mengamalkan ilmunya, dengan mengatakan,”Para ulama su’ berdiri di pintu surga mengajak manusia untuk masuk ke dalamnya dengan ucapan-ucapan mereka, namun perbuatan-perbuatan mereka justru mengajak ke neraka. Setiap kali ucapan mereka berkata kepada manusia “Kemarilah !”, perbuatan mereka mengatakan” Jangan kalian dengarkan ajakan mereka !”. Sekiranya ajakan mereka benar, tentulah mereka menjadi orang yang pertama kali memenuhinya. Lahiriah mereka sebagai para penunjuk jalan, namun sejatinya sebagai para pembegal jalanan.”[16]

  • Zuhud (lebih mementingkan akhirat di saat ada kesempatan untuk menikmati kenikmatan dunia).

Pengaruh cinta dunia sangat besar dalam pelaksanaan tugas para ulama sebagai pengemban dan penyampai dakwah. Imam Ibnu Qayyim mengatakan,” Setiap ulama yang lebih mementingkan dan mencintai dunia, pasti akan mengatakan hal yang tidak benar dalam fatwa, keputusan, pemberitahuan dan pendapatnya, karena seringkali hukum-hukum Allah Ta’ala bertentangan dengan keinginan (hawa nafsu) manusia, terlebih lagi keinginan para penguasa dan orang-orang yang menuruti syahwatnya. Biasanya, keinginan-keinginan mereka hanya bisa terpenuhi dengan banyak menyelisihi dan menolak kebenaran. Jika penguasa dan ulama sama-sama cinta dunia dan mengikuti syahwat, mereka tidak akan bisa meraihnya kecuali dengan menolak kebenaran yang berlawanan dengan syahwat mereka tersebut.”[17]

  • Tawadhu’ (rendah hati) dan akhlak yang baik.

Imam Fudhail bin ‘Iyadh meringkas sikap tawadhu’ seorang ulama, dalam nasehat singkat,” Engkau tunduk dan mengikut kebenaran dari siapapun yang mengatakan kebenaran. Sekalipun ia orang yang paling bodoh, engkau harus menerimanya.” Imam Malik bin Dinar menyebutkan,” Siapa mempelajari ilmu untuk diamalkan, ia akan dihancur leburkan oleh ilmu (ditundukkan oleh ilmu, tawadhu’). Sebaliknya, siapa mempelajari ilmu untuk selain pengamalan, ia akan semakin sombong.”[18]

  • Khasyatullah (rasa takut yang mendalam kepada Allah).  

Rasa takut kepada Allah adalah amalan hati, namun bisa diketahui dari sejumlah gejala yang nampak di luar. Di antaranya, tercermin dalam akhlak terpuji dalam ibadah dan pergaulan sehari-hari. Gejala lainnya adalah mengikuti kebenaran demi mencari ridha Allah semata dan lantang menyampaikan kebenaran kepada masyarakat apa adanya tanpa takut kepada komentar miring orang-orang yang mencela (QS. Al-Maidah :44, Luqman : 17dan Al-Ahzab :39).

 

 

Kriteria Ulama Panutan Mujahidin

 

 

Secara umum, sebagian besar masalah pokok dalam persoalan akidah, fiqih, mu’amalah (interaksi sosial) dan akhlak telah dibahas tuntas oleh para ulama salaf dan ulama generasi sesudahnya yang mengikuti jejak salaf. Sebagian besar pembahasan mereka juga telah dibukukan, dicetak dan beredar luas di tengah umat Islam. Umat Islam tinggal meluangkan waktu dan konsentrasinya untuk mempelajari referensi-referensi tersebut.

 

 

Persoalan yang belum mereka bahas, hanyalah persoalan-persoalan baru yang tidak terjadi di zaman mereka (biasa dikenal dengan istilah nazilah atau nawazil). Ini wajar, mengingat setiap masa dan tempat tentu mempunyai permasalahan baru yang tidak sama dengan masa sebelumnya, atau tempat lain. Permasalahan-permasalahan baru ini menjadi tanggung jawab para ulama dan mujathid setiap masa. Merekalah yang berkewajiban dan berhak membahas hukumnya dengan melakukan kajian bersumber kepada Al-Qur’an, Al-Sunnah, ijma, qiyas dan dalil-dalil lainnya.

Para ulama mujtahid yang mempunyai kemampuan menyimpulkan hukum dari dalil-dallil syar’i, adalah para ulama yang memenuhi beberapa syarat. Syarat terpenting adalah :

  1. Menguasai Al-Qur’an dan ilmu-ilmu Al-Qur’an.
  2. Menguasai Al-hadits (al-sunnah) dan ilmu-ilmu hadits.
  3. Menguasai fiqih, ushul fiqih, ilmu tentang ijma’ dan ikhtilaf ulama.
  4. Menguasai bahasa arab dan ilmu-ilmunya.
  5. Memahami realita masyarakat.

Ringkasnya, ulama mujtahid adalah ulama yang mampu memadukan dua ilmu : ilmu syar’i (ma’rifatu nash) dan ilmu tentang realita (ma’rifatul waqi’). Bila salah satu ilmu ini tidak ada, bisa dipastikan hukum yang ia simpulkan akan keliru.

 

 

Imam Ibnu Qayyim berkata :

 

 

وَلاَ يَتَمَكَّنُ اْلمُفْتِي وَلاَ اْلحَاكِمُ مِنَ اْلفَتْوَى وَلاَ اْلحُكْمِ بِالْحَقِّ إِلاَّ بِنَوْعَيْنِ مِنَ اْلفَهْمِ ، أَحَدُهُمَا : فَهْمُ اْلوَاقِعِ وَاْلفِقْهُ فِيْهِ وَاسْتِنْبَاطُ عِلْمِ حَقِيْقَةِ مَا وَقَعَ بِالْقَرَائِنِ وَاْلأَمَارَاتِ وَالْعَلاَمَاتِ حَتَّى يُحِيطَ بِهِ عِلْماً ، وَالنَّوْعُ الثَّانِي : فَهْمُ ْالوَاجِبِ فِي اْلوَاِقعِ وَهُوَ فَهْمُ حُكْمِ اللهِ الَّذِي حَكَمَ بِهِ فِي كِتَابِهِ أَوْ عَلَى لِسَانِ رَسُولِهِ فِي هَذَا الْوَاقِعِ ، ثُمَّ يُطَبِّقُ أَحَدَهُمَا عَلَى اْلآخَرِ.

 

 

” Seorang mufti dan seorang hakim (penguasa, qadhi) tidak akan bisa berfatwa dan memutuskan perkara dengan kebenaran, kecuali bila memadukan dua pemahaman (fiqih). Pertama : memahami dan mengerti betul waqi’ (realita), serta menyimpulkan ilmu tentang hakekat realita yang ada dengan qarinah, amarah dan ‘alamat (bukti-bukti dan data-data) sehingga ilmunya meliputi realita. Kedua :  memahami apa yang wajib (kewajiban syariat) atas realita, yaitu memahami hukum Allah yang ditetapkan dalam kitab-Nya atau melalui lesan Rasul-Nya atas realita tersebut. Baru kemudian menerapkan yang satu (hukum syariat, pent) atas yang lain (realita).”[19]

 

 

Inilah ajaran Islam yang diamalkan oleh para salaf. Fiqhul waqi’ atau ma’rifatu an-nas (memahami realita masyarakat) ini, dalam istilah ushul fiqih disebut dengan Tahqiqul Manath. Imam Asy-Syathibi berkata :

 

لاَ يَصِحُّ لِلْعَالِمِ إِذَا سُئِلَ عَنْ أَمْرٍ كَيْفَ يَحْصُلُ فِي اْلوَاقِعِ إِلاَّ أَنْ يُجِيبَ بِحَسْبِ الْوَاقِعِ ، فَإِنْ أَجَابَ عَلَى غَيْـرِ ذَلِكَ أَخْطَأَ فِي عَدَمِ اِعْتِبَارِ اْلمَنَاطِ اْلمَسْئُولِ عَنْ حُكْمِهِ، ِلأَنَّهُ سُئِلَ عَنْ مَنَاطٍ مُعَيَّنٍ فَأَجَابَ عَنْ مَنَاطٍ غَيْرِ مُعَيَّنٍ

” Tidak sah bila seorang ulama ditanya tentang sebuah urusan bagaimana ia bisa terjadi dalam realita, kecuali dengan menjawab sesuai realita yang ada. Jika ia menjawab tidak dengan hal itu (sesuai realita yang ada), maka ia telah berbuat salah karena tidak mempertimbangkan manathyang ditanyakan hukumnya, karena ia ditanya tentang sebuah manath yang tertentu (definitif) namun justru ia jawab dengan manath yang tidak tertentu.”[20]

 

 

Bagaimana dengan dunia jihad fi sabilillah ? Bagaimana kriteria ulama panutan mujahidin ? Kaedah di atas juga berlaku dalam jihad fi sabilillah. Sebagaimana diketahui bersama, jihad fi sabilillah adalah sebuah ibadah yang unik. Ia mempunyai dua sisi yang tidak bisa dipisahkan ;

 

  • Sisi teori : yaitu jihad menurut tinjauan ilmu syar’i, dibahas dalam buku-buku tafsir, hadits dan fiqih. Pakar sisi teori adalah para ulama.
  • Sisi praktek ; yaitu pekerjaan teknis di lapangan, yang hanya diketahui oleh para pelaku yang mengangkat senjata.

 

Antara teori dan praktek terdapat perbedaan yang tajam, setajam perbedaan langit dan bumi. Teori yang begitu mudah dan indah, sangat kontras dengan praktek yang begitu sukar dan keras.

Oleh karenanya, dunia jihad fi sabilillah hanya akan diketahui secara benar, dari orang-orang yang menguasai kedua fiqih tersebut ; fiqih teori dan fiqih praktek, faham ilmu syar’i dan mengetahui seluk beluk dunia peperangan. Atau menurut istilah imam Ahmad bin Hambal, Ibnu Qayyim dan Asy Syatibi, mengetahui fiqih ahkam syari’ah dan ma’rifatu nas (fiqih waqi’). Merekalah yang layak memberi fatwa dan dimintai fatwa dalam urusan jihad fi sabilillah.

Hal ini dijelaskan oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dengan perkataan beliau :

وَالْوَاجِبُ أَنْ يُعْتَبَرَ فِي أُمُورِ الْجِهَادِ بِرَأْيِ أَهْلِ الدِّينِ الصَّحِيحِ الَّذِينَ لَهُمْ خِبْرَةٌ بِمَا عَلَيْهِ أَهْلُ الدُّنْيَا , دُونَ أَهْلِ الدُّنْيَا الَّذِينَ يَغْلِبُ عَلَيْهِمُ النَّظَرُ فِي ظَاهِرِ الدِّينِ فَلاَ يُؤْخَذُ بِرَأْيِهِمْ , وَلاَ بِرَأْيِ أَهْلِ الدِّينِ الَّذِينَ لاَ خِبْرَةَ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا

“Yang wajib dilakukan adalah mempertimbangkan urusan-urusan jihad dengan pendapat para ahlu dien shahih yang mempunyai pengalaman dengan kondisi ahlu dunia. Bukan dengan pendapat ahlu dunia (pakar siasat perang, pent) yang hanya melihat dhahir dien semata, mereka ini tidak diambil pendapatnya. Juga bukan dengan pendapat para ahlu dien yang tidak mempunyai pengalaman ahlu dunia (seluk beluk dunia peperangan, pent).”[21]

DR. Abdullah Azzam menjelaskan maksud perkataan syaikhul Islam ini, dengan menyatakan,” Maksudnya, seorang yang memberi fatwa dalam urusan-urusan jihad haruslah seorang yang mampu menyimpulkan hukum (dari dalil-dalil syar’i), ikhlas, dan mengetahui tabiat peperangan serta realita orang-orang yang berperang.”[22]

Ketika syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang hukum memerangi pasukan Tartar, beliau menjawab :

نَعَمْ . يَجِبُ قِتَالُ هَؤُلاَءِ بِكِتَابِ اللهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ وَاتِّفَاقِ أَئِمَّةِ اْلمُسْلِمِينَ ، وَهَذَا مَبْنِيٌّ عَلَى أَصْلَيْنِ : أَحَدِهِمَا ْالمَعْرِفَةُ بِحَالِهِمْ، وَالثَّانِي مَعْرِفَةُ حُكْمِ اللهِ فِي مِثْلِهِمْ

” Ya, wajib memerangi mereka berdasar kitabullah, sunah Rasul-Nya dan kesepakatan para ulama Islam. Hukum ini dibangun diatas dua dasar : Pertama. Mengetahui realita mereka (pasukan Tartar). Kedua. Mengetahui hukum Allah atas orang-orang seperti mereka.”[23]

Para ulama yang terlibat langsung dalam jihad, adalah ulama yang memadukan kedua fiqih ini ; fiqih ahkam dan fiqih waqi’. Mereka telah bersungguh-sungguh mencurahkan waktu, ilmu, tenaga, harta dan nyawa mereka dalam memperjuangkan Islam. Kesungguhan (mujahadah) mereka lebih berat dan tinggi dari para ulama yang hanya mencukupkan diri dengan dunia dakwah, tarbiyah dan tazkiyah.

Hal ini, sudah disadari oleh para ulama salaf sejak dahulu. Maka, amat layak bila terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, mereka menyarankan untuk kembali kepada pendapat para ulama mujahidin murabithin, para ulama yang memahami hukum syariah dan mempunyai pengalaman ahlu dunia.

Syaikhul islam Ibnu Taimiyah berkata :

وَلِهَذَا كَانَ اْلجِهَادُ مُوجِباً لِلْهِدَايَةِ الَّتِي هِيَ مُحِيطَةٌ بِأَبْوَابِ الْعِلْمِ , كَمَا دَلَّ عَلَيهِ قَوْلُهُ تَعَالَى {وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُم سُبُلَنَا } فَجَعَلَ لِمَنْ جَاهَدَ فِيهِ هِدَايَةَ جَمِيعِ سُبُلِهِ تَعَالَى , وَلِهَذَا قَالَ اْلإِمَامَانِ عَبْدُ اللهِ بْنُ اْلمُبَارَكِ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَغَيْرُهُمَا : إِذَا اخْتلَفَ النَّاسُ فِي شَيْءٍ , فَانْظُرُوا مَاذَا عَلَيهِ أَهْلُ الثُّغُورِ , فَإِنَّ اْلحَقَّ مَعَهُمْ , ِلأَنَّ اللهَ يَقُولُ { وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُم سُبُلَنَا }

” Oleh karena itu, jihad menyebabkan datangnya hidayah (petunjuk) yang mengelilingi pintu-pintu ilmu. Sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala.” Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” [QS. Al-Ankabut :69].

Allah menjadikan hidayah (petunjuk) bagi orang yang berjihad (bersungguh-sungguh) mencari keridhaan-Nya. Oleh karenanya, imam Abdullah bin Mubarak, Ahmad bin Hambal dan lain-lain mengatakan :” Jika maunisa berbeda pendapat dalam sebuah permasalahan, maka lihatlah pendapat para ahlu tsugur (orang-orang yang menjaga daerah perbatasan kaum muslimin dengan daerah musuh, murabithun), karena kebenaran bersama mereka, karena Allah telah berfirman:Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami).”[24]

Tidak diragukan lagi, setiap muslim (apalagi ulama yang shalih) yang bersungguh-sungguh (mujahadah) akan mendapatkan hidayah. Namun kesungguhan setiap orang tentu bertingkat-tingkat, dan kesungguhan yang paling tinggi (sampai mengorbankan nyawa) adalah kesungguhan para ulama mujahidin dan murabithin. Maka, amat sangat layak bila hidayah yang mereka peroleh paling tinggi, sesuai ketinggian mujahadah dan maqam jihad-ribath yang mereka lakukan.

Siapa Sosok Ulama Panutan Mujahidin Saat Ini ?

Secara umum, kaedah dasar operasi-operasi jihad adalah sirriyah (kerahasiaan). Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan dakwah, tarbiyah, tazkiyah, atau kegiatan sosial Islam lainnya yang harus menganut kaedah dasar jahriyah (keterbukaan). Secara tidak langsung, hal ini berimbas kepada kerahasiaan para sosok ulama panutan mujahidin, mengingat mereka merupakan target-target utama yang diincar oleh musuh untuk dihancurkan.

Namun sebagai sebuah gambaran umum, di bawah ini disebutkan beberapa ulama mujahidin dan murabithin yang saat ini paling menonjol dan terkenal di pentas jihad internasional, dengan beberapa contoh karya tulisan mereka. Ulama-ulama lain yang tidak terkenal atau mencuat namanya, tidak menjadi masalah bila tidak dikenal. Sebagaimana dikatakan khalifah Umar saat menerima laporan para syuhada’ perang jembatan (Ma’rakatul Jisr) tahun 13 H,” Tidak masalah kita tidak mengenal mereka, karena Allah pasti mengenal mereka.”

Ulama-ulama dari Jazirah Arab

  1. Syaikh Hamud bin ‘Uqla Al-Syu’aibi
    Karya tulis:  Puluhan buku dan artikel, yang paling terkenal adalah Al-Qaulul Mukhtar fi Hukmil Isti’anah bil Kuffar.
    Catatan:  Dipandang sebagai guru seluruh ulama mujahidin di seluruh dunia. Besarnya pengaruh dan dukungan beliau terhadap mujahidin membuat kemarahan aliansi salibis-zionis-murtadin. Majelis ulama senior Arab Saudi yang nota benenya mantan murid-murid beliau, bahkan sampai mengharamkan beliau berfatwa dan memberi pelajaran.
  2. Syaikh Ali bin Khudair Al-Khudair
    Karya tulis:
    Lebih dari 20 buku, mayoritas di bidang akidah. Di antaranya : Al-’Amal Al-Qadim, Al-Haqaiq fi Tauhid, Al-Jam’u wa Tajrid Syarhu Kitab Tauhid, Al-Qawaid Al-Arba’, Al-Masail Al-Mardhiyah Syarhul ‘Aqidah Al-Wasithiyah, Al-Mutammimah fi Kalami Aimmati Da’wah, Al-Wijazah Syarhu Ushuli Tsalatsah, Al-wasith Syarhu Awwali Risalah fi Majmu’ati Tauhid, Thabaqat Ba’da Nasyr, Al-Taudhih wa Tatimat Syarhu Kasyfi Syubuhat, Al-Zinad Syarhu Lum’atil I’tiqad, Ushulu Dinil Islam, Qawaid wal Ushul fil Jahli wal ‘Udzri wal Bida’, Qawaid wa Ushul fil Muqalidin wal Juhal, Juz-un Nifaq, Juz-un fil Jahli wal Tibasil Hal, Juz-un fil Ahwa’ wal Bida’ wal Muta’awwilin.
    Belum terhitung fatwa-fatwa, tanya jawab dan ceramah-ceramah.
    Catatan: Buku-buku beliau mempunyai ciri khas : kekuatan referensi dengan dalil-dalil syar’i dan pendapat para ulama salaf, penyusunan dan penertiban pembahasan yang sangat bagus. Beliau   juga menghidupkan kembali tradisi para ulama salaf dengan mengarang buku-buku tematik yang terkenal dengan istilah ajza’ (juz-juz). Ulama penting bagi mujahidin Jazirah Arab ini mendekam dalam penjara taghut Saudi karena fatwa-fatwanya yang begitu berani mendukung mujahidin.
  3. Syaikh Sulaiman bin Nashir Al-’Ulwan
    Karya tulis:  Lebih dari 20 buku, puluhan artikel, tanya jawab, ceramah dan fatwa. Buku yang terkenal antara lain ; Ahkamu Qiyamil Lail, Amrika wa Asra, Ala Inna Nasrallahi Qarib, Al-Fawaid wal Ma’ani, Al-Ijabah Al-Mukhtasharah, Al-Istinfar Al-Ladzib, Al-Jilsah al-Yaumiyah 1-15, Al-Kasyf  ‘An Dhalalati Hasan Al-Saqaf, Al-Niza’at fil Mahdi, Al-Tabshir bi-waqi’ir Rafidzah, Al-Tibyan Syarhu Nawaqidhil Islam, Muhimatul Masail fil-Mashi ‘alal Khufain, Silsilatu Tau’iyah Harb Shalibiyah, Syarhu Bulughil Maram Kitab Shiyam dan Kitab Al-Haj, Tahrij Hadits Khurujil Muqatilin Minal ‘Adn.
    Catatan:  Pakar hadits dan fiqih Jazirah Arab ini merupakan tokoh panutan mujahidin. Fatwa-fatwanya yang mendukung mujahidin menempatkan beliau sebagai musuh besar aliansi salibis-zionis-murtad di Jazirah Arab.
  4. Syaikh Nashir bin Hamd Al-Fahd
    Karya tulis: Lebih dari 20 buku, plus tanya jawab, artikel, fatwa dan ceramah. Di antara buku beliau yang terkenal adalah : Al-I’lam bi-Mukhalafatil Muwafaqat, at-Tibyan fi Kufri man A’ana Al-Amrikan 1-3, Waqfat Ma’al Waqfat, Vidiyu Islami, Thali’atu Tankil, Manhajul Mutaqadimin fi Tadlis, Majmu’ Fatawa fil Adab, Libasul Mar-ah Amamal Mar-ah, Khulashatu Ba’dhi Afkaril Qardhawi, Al-Radd ‘Alal Qardhawi, Kasyfu Syubuhatil Hasan Al-Maliki, Iqamatul Burhan, Daulah Utsmaniyah wa Mauqifu Da’wati Syaikh Minha, Al-Tabyin fi Mukhatarati Al-Tathbi’ ‘Alal Muslimin, Al-Raddu ‘Alal Murji-ah, Al-Raddu ‘alal Rafizhah, Al-Tahqiq fi Mas-alati Tashfiq, Hukmul Ghina’ bil-Qur’an, Hukmul ‘Athurah Al-Kuhuliyah dll.
    Catatan: Pakar fikih dan sejarah, banyak menjawab persoalan fiqih kontemporer. Dipandang sebagai ulama pelopor yang mempunyai metode penulisan dan dakwah yang mampu menjembatani  kesenjangan ulama dengan kaum awam. Dukungan kuatnya kepada mujahidin menyebabkan beliau mendekam dalam penjara taghut. Tulisan-tulisannya membuat Deputi direktur Urusan Politik-Militer AS dan staf perencana kebijakan Deplu AS, Francis Fukuyama kebakaran kumis.
  5. Syaikh Ahmad bin Hamud Al-Khalidi
    Karya tulis: Beberapa buku, fatwa, ceramah dan tanya jawab. Yang paling terkenal adalah ; Al-Idhah wa Al-Tabyin man Syakka au Tawaqqafa fi Kufri Ba’dhi Tawaghit wal Murtadin, Al-Tanbihat ‘ala Maa fi kalami Al-rais minal Warathat wal Aghluthat, dan Al-Im’an fi Nushratil Mujahidin.
    Catatan: Gaya penulisan buku-bukunya mirip gaya syaikh Ali Al-Khudair. Mendekam di penjara karena kelantangan fatwa dan dukungannya kepada mujahidin.
  6. Syaikh Abdul-Aziz bin Shalih Al-Jarbu’
    Karya tulis: Lebih dari sepuluh buku, di antaranya Al-Ta’shil li-Masyru’iyati ma Hadatsa fi Amrika min Al-Tadmir, al-Mukhtar fi Hukmil Intihar Khaufa Ifsyail Asrar, al-I’lam bi Wujubil Hijrah, Al-Burhan Al-Sathi’, Al-Bayan Al-Mutlaq, Al-Anutsah Al-Fikriyah, Qulna Laitahu Sakata, Aqwalu Ahlil ‘Ilmi fi Qunutil Witri, Manshuru Naqidan, Lam Amur biha walam Tasu’ Nie.
    Catatan: Mendekam di penjara karena kelantangan fatwa dan dukungannya kepada mujahidin. Beberapa buku beliau menjawab tuntas beberapa operasi mujahidin dan membantah para ulama anti mujahidin.
  7. Syaikh Yusuf bin Shalih Al-’Ayiri
    Karya tulis: Lebih dari 10 buku. Di antaranya : Haqiqatul Harb Shalibiyah Jadidah, Mustaqbalul ‘Iraq, Majmu’ah Dirasah Syar’iyah, Hukmul Jihad wa Anwa’uhu, Idhahat ‘Ala Tariqil Jihad, Tsawabit ‘Ala Darbil Jihad, Tasaulat Haula Harbi Shalibiyah Jadidah, Hidayatul Hiyara, Al-Tawajud Al-Amriki fi Jaziratil Arab, ‘Amaliyat Moscow, Al-Raddu ‘alal Hasan Al-Maliki, Amrika wa Shu’ud Ilal Hawiyah, Naziful Khasair Al-Amrikiyah, dan lain-lain.
    Catatan: Pendiri kamp pelatihan militer Al-Battar dan lembaga kajian Markaz Dirasat wal Buhuts Islamiyah. Buku-buku beliau mencerminkan kedalaman pemahaman hukum-hukum syariat, dan penguasaan masalah politik, ekonomi dan militer. Mendekam selama beberapa tahun di penjara, dibebaskan dan syahid —insya Allah—saat akan ditangkap kembali.
  8. Syaikh Sholih bin sa’ad Al-Hasan
    Karya tulis: Buku yang paling terkenal : Al-Nab’ul Fayyadh fi Ta’yidil Jihad fi Riyadh, Syahadatu Tsiqat, Tahdzib Al-Kawasyif Al-Jaliyyah fi Kufri Daulah Sa’udiyah.
    Catatan: Bersama syaikh Yusuf Al-Ayiri, menjadi ulama penting di Markaz Dirasat wal Buhuts Islamiyah.
  9. Syaikh Abdurahim bin Murad Al-Syafi’i
    Karya tulis:  Buku yang paling terkenal adalah Shuhailul Jiyad Syarhu Kitabil Jihad Min Bulughil Maram.
    Catatan:  Kekuatan referensinya menyerupai mutu buku-buku syaikh Ali Khudair.
  10. Syaikh Abu Abdirahman Al-Atsari (Sulthan bin Bajad Al-’Utaibi)
    Karya tulis: Buku yang paling terkenal adalah Risalatu ila ‘Askari, Al-Haqqu wal Yaqin fi ‘Adawati Tughah wal Murtadien, Al-Zinad fi wujubil I’dad, Risalah fi Tawaghit, Rislah Ila Thalibil ‘Ilm, al-Qaulul Muhtad ‘ala man Lam Yukaffiril Murtad.
    Catatan: Fatwa-fatwa dan dukungan kepada mujahidin membuat beliau sebagai buron penting alinsi salibis-zionis-murtadin.
  11. Syaikh Abu Jandal Al-Uzdi (Abdullah bin Nashir Al-Rasyid)
    Karya tulis:  Tak kurang dari 10 buku. Antara lain : Qasashun Tarikhiyatun lil-Mathlubin 1-2, Wujubu Istinqadzil Mustadh’afin, Tahridhul Mujahidin Al-Abthal fi Ihyai Sunatil Ightiyal, Usamah bin Ladin, Hukmul Igharah wal-Tatarus, Hasyimu Taraju’at, Hiwar Haula Syi’ah, Maqashidul Jihad 1-2, Al-maniyyah wa laa Al-daniyyah, Allahu Akbar Kharabat Amrika, Intiqadhul I’tiradh ‘ala Tafjirati Riyadh, Al-Bahits fi Hukmi Qathli Afradi wa Dhubatil Mabahits, Al-Ayat wal Ahadits fi Kufri Quwati Dir’i Al-Jazirah Al-’Arabiyah, Al-Khuruj ‘Alal Hukkam.
    Catatan: Idem
  12. Syaikh Abdul-Karim bin Shalih Al-Humaid
    Karya tulis: Buku-buku yang paling terkenal : Takhludil Kuffar fi Nar, Al-Haq Al-Damigh Raddun ‘Alal Qardhawi, Al-Syafa’ah, Laisa Lana Matsalu Su’, Bayanu ‘Ilmil Ushul dan Ayuhaz Zanadiqah.
  13. Syaikh Ahmad bin Abdul-Karim Najib
    Karya tulis: Buku paling terkenal : Atsarul Jihad wal Mujahidin fil Busnah, Makhtutatul Hadits Al-Nabawi wa ‘Ulumihi fi Maktabatil Busnah, Al-Mukhtasar Al-Shahih ‘Anil Maut wal Qabr wal Hasyr.
    Catatan: Ulama Qatar.
  14. Syaikh Hamd bin Rais Al-Rais
    Karya tulis: Al-Radd ‘Ala Bayanil jabhat Al-Dakhiliyah Amama Al-Tahadiyat Al-Mu’ashirah.
  15. Syaikh Abu Umar Muhammad bin Abdullah Al-Saif
    Karya tulis: Buku yang paling terkenal Hal Intaharat Hawa au Ustusyhidat, Al-Iraq wa Ghazwu Shalib, Akhlaqul Mujahid, Al-Syi’ah wa Tahriful  Qur’an.
    Catatan:  Ketua Mahkamah Syari’ah Chechnya.
  16. Syaikh Ahmad bin Nashir Al-Sanani
    Karya tulis: Idem.
  17. Syaikh Abdullah bin Abdurahman Al-Sa’d
    Karya tulis: Idem.
  18. Syaikh Hamid bin Abdullah Al-’Ali
    Karya tulis: Buku paling terkenal : Irsyadul Anam ila Fadhailil Jihad Dzirwati Sanamil Islam, Al-Nashrul Mudzafar, Bayanu Haqiqatil Iman. Banyak membantah syubhat-syubhat jihad.
    Catatan: Ulama Kuwait.

Ulama-ulama dari Afrika

  1. Syaikh Umar bin Abdurahman
    Karya tulis:  Buku yang paling terkenal : Kalimatu Haqqin, Ashnaful Hukkam wa Ahkamuhum.
    Catatan:  Dipenjara di Amerika.
  2. Syaikh Abdul-Akhir Hammad Al-Ghunaimi
    Karya tulis: Buku paling terkenal : Al-Minhah Al-Ilahiyah Tahdzib Syarh Thahawiyah, Waqfaat Ma’al Buthi fi Kitabihi ‘anil Jihad, Marahilu Tsyri’il Jihad, Musthalahat wa Mafahim, Hukmu Taghyiril Munkar li-Ahadi Ra’iyah, Al-Fawaid Al-Muntaqah.
  3. Syaikh Rifa’i Ahmad Thaha
    Karya tulis: Buku paling terkenal : Imathatu Litsam ‘An Ba’dhi Ahkami Dzirwati Sanamil Islam, Al-Qiyadah wa Syura fil Islam, waqfaatun Ma’a Dzat, ‘Asyratu A’wam minal Muwajahah.
    Catatan: Dipenjara di Mesir.
  4. Syaikh Muhammad Abdu Salam Al-Faraj
    Karya tulis: Al-Faridhah Al-Ghaibah.
    Catatan: Dihukum gantung dalam kasus pembunuhan Anwar Sadat.
  5. Syaikh Muhammad Musthafa Al-Muqri’
    Karya tulis:  Hal Qitalul Mubaddilin Jihadun,  Mustabdilun fi Syari’ati Dien, Al-salafiyah Bainal Wulat wal Ghulat, Mukhalafat, Zafaratul Harb.
  6. Syaikh Abu Mundzir As-Sa’idi
    Karya tulis:  Buku paling terkenal : Al-Khuthuth Al-’Arizhah Li-Manhaji Al-Jama’ah Al-Islamiyah Al-Muqatilah, Al-Jumu’ah Adabun wa Ahkamun.
  7. Syaikh Hasan Muhammad Qaid
    Karya tulis: Buku paling terkenal ; Nazharatun fil Ijma’ Al-Qath’i.
    Catatan:  Mengkritisi klaim ijma’ qath’i atas kafirnya antek thaghut secara personal (takfir mu’ayan) dalam buku Al-Jami’ fi Thalabil ‘Ilmi Al-Syarif.
  8. Syaikh Abdul-Qadir bin Abdul-Aziz
    Karya tulis: Buku paling terkenal : Al-’Umdah fi I’dadil ‘Uddah, Al-Jami’ fi Thalabil ‘Ilmi Al-Syarif, Faidhul Karimil Mannan (Al-Raddu ‘Ala Safar Al-Hawali), Da’watu Tauhid.
    Catatan: Ditangkap dan dipenjara di Yaman sejak 11 Oktober 2001 M dan diekstradisi ke Mesir 28 Februari 2004 M, dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati bersama lima rekannya. Beberapa pendapat beliau dalam Al-Jami’ mendapat pelurusan dari beberapa ulama.
  9. Syaikh Aiman Al-Zhawahiri
    Karya tulis: Buku yang paling terkenal ; Syifau Shuduril Mu’minin, Al-Wala’ wal Bara’ Aqidatun Manqulatun wa Waqi’un Mafqudun, Al-Radu ‘ala Syubuhati Al-Albani, Al-Hishadul Murru, Hiwarun Ma’a Thawaghit Maqbaratu Du’at, Kasyfu Zur wal Buhtan, Kitabul Aswad, Mishra Al-Muslimah.

Ulama-ulama dari Syam

  1. Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi ‘Isham bin Muhammad bin Thahir Al’Utaibi
    Karya tulis:  Puluhan buku, tanya jawab dan fatwa. Yang paling terkenal : Millatu Ibrahim, Al-Risalah Al-Tsalatsiniyah fi Tahdzir Minal Ghuluw fi Takfir, Imta’u Nazhar fi Kasyfi Syubuhati Murjiatil ‘Ashr, Al-Dimuqrathiyah Dienun, Al-Qaul Al-Nafis, Kasyfu Niqab ‘an Syari’atil Ghab, Kasyfu Syubuhatil Mujadilin ‘An Asakiri Syirki wal Qawanin, Tuhfah Maqdisiyah, Al-Kawasyif Al-Jaliyyah fi Kufri Daulah Su’udiyah, Mukhtashar sharimuil Mashlul, I’dadul Qadah Al-Fawaris fi Hujranil Madaris, Hadzihi ‘Aqidatuna, Laa Tahzan Inna Allaha Ma’ana dan lain-lain.
    Catatan: Dipenjara di Yordania sejak 1994 M.
  2. Syaikh Abu Bashir Abdul Mun’im Musthafa Halimah
    Karya tulis: Puluhan buku, ratusan tanya jawab dan fatwa. Yang paling terkenal : Tahdzib Syarh Thahawiyah, Qawaid fi Takfir, A’malun Tukhriju Sahibaha Minal Milah, Al-Taghut, Al-Hijrah Masail wa Ahkam, Syurutu laa Ilaha Ilalllahu, Hukmul Islam fi dimuqrathiyah wa Ta’adudiyah Hisbiyah, Hukmu Tariki Shalat, Hukmu Istihlali Amwalil Kuffar, Al-Thariq Ila Isti’nafi Hayatin Islamiyah wa Qiyami Khilafah, Shifatu Thaifah Manshurah, Huququn wa Wajibat Syara’aha Allahu ‘alal ‘Ibad, Al-’Udzu bil-Jahli wa Qiyamul Hujah, Al-Intishar li-Ahli Tauhid, Limadzal jihad fi Sabilillah, Hadzihi ‘Aqidatuna, Al-Syi’ah Al-Rawafizh Thaifatu Syirkin, dll.
  3. Syaikh Abu Qatadah Al-Filasthini Mahmud bin Umar
    Karya tulis: Lebih dari 15 buku, yang paling terkenal : Al-Jihad wal Ijtihad Ta-amulat fil Manhaj, al-Jarh wa Al-Ta’dil, Ma’alim Thaifah Manshurah, Mulahazhat ‘alal Bajuri, Hujrani Masajidi Dhirar, Ahlul Qiblah Al-Mutaawwilin, Maratibul Kafirin, Limadzal Jihad, Ju’natul Muthibin, Risalah Baina Manhajaini 1-99, Masail fi Nifaq, Ju’natul Muthibin, Tauhidul Hakimiyah, Al-’Ulama wa Amanatul Ummah, dll.
    Catatan: Divonis penjara seumur hidup dalam pengadilan inabsentia di Yordan. Dipenjara di Perancis, lalu dikenakan tahanan rumah. Beberapa risalahnya mendapat pelurusan ulama lain.
  4. Syaikh Abu Mush’ab Al-Suri
    Karya tulis:  Buku yang paling terkenal Al-Muslimiun fi Wasathi Asiya, Tajribah Jihadiyah fi Suriah, fi Muwajahati Nushairiyah, Mas-uliyatu Ahli Yaman.
  5. Syaikh Abu Qutaibah Jabir bin Abdul-Qayum Al-Sa’idi
    Karya tulis: Buku paling terkenal Al-Ishabah fi Thalabi Syahadah, Tahridul Mujahidin ‘ala Qitali Thawaghit Al- Murtadin, Tahqiqu Tauhid Bil- Bara-ah min Ahli syirki wa Tandid.
  6. Syaikh Abdullah bin Ahmad Al-Syami
    Karya tulis:  Falsafatu Syahadah.

Ulama dari Asia Tenggara?

  • Kapan ya melahirkan ulama kaliber internasional? Masih menunggu lahirnya calon-calon ulama rabbaniyyun dari rahim lembaga-lembaga pendidikan keagamaan.

Inilah beberapa ulama yang hari ini menjadi panutan mujahidin. Sebagian besar mereka dipenjara atau diburu oleh aliansi salibiz-zionis-murtadin, dan sebagian kecilnya telah dikaruniai syahid —insya Allah—. Mereka merupakan personifikasi pergerakan Islam salafiyah jihadiyah. Seperti para ulama lainnya, mereka juga mempunyai beberapa kesalahan pendapat, fatwa dan tindakan. Namun secara umum lebih sedikit dari para ulama lain yang tidak berjihad fi sabilillah.

Buku-buku karangan mereka dengan mudah bisa diperoleh diinternet. Bagi seorang muslim yang ingin menimba ilmu dari para ulama ‘amilin, buku-buku para ulama ini menjadi referensi penting untuk menjembatani pemahaman hukum-hukum syariat dan pelaksanaannya dalam realita lapangan (ilmu syariat-ilmu waqi’).

Untuk bisa memahami buku-buku mereka dengan baik, sebaiknya seorang yang akan belajar meminta pembacaan, bimbingan dan penjelasan para ulama, kyai, da’i, ustadz, atau para penuntut ilmu syar’i yang dirasa mempunyai kemampuan atas hal itu. Dan yang tak kalah pentingnya, sedikit ilmu yang dipahami harus diamalkan, sehingga terjadi siklus pembelajaran yang sehat: ilmu, diamalkan, dan melahirkan karunia ilmu baru.

Wallahu A’lam bish Shawab.

***

Buku-buku para ulama di atas bisa diakses lewat banyak situs internet, seperti :

By :   Anshar Al-Muslimin Publisher

(saif al battar/arrahmah.com)

Kutipan

MULKAN JABBARIYYAN BUKAN ULIL AMRI !!!!!!!

5 Mar
Allah in Arabic

Allah in Arabic (Photo credit: Wikipedia)

MULKAN JABBARIYYAN BUKAN ULIL AMRI !!!!!!!

 

Di dalam Al-Qur’an terdapat sebuah ayat yang sangat sering dikutip oleh para politisi Partai Islam terutama di musim kampanye menjelang Pemilu.

Namun yang kita sayangkan ialah umumnya mereka mengutip ayat tersebut secara tidak lengkap alias sepotong saja. Lengkapnya ayat tersebut berbunyi sebagai berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa ayat 59)

Mengapa ayat ini begitu populer dikumandangkan para jurkam di musim kampanye???????????????

Karena di dalamnya terkandung perintah Allah agar ummat taat kepada Ulil Amri Minkum (para pemimpin di antara kalian atau para pemimpin di antara orang-orang beriman).

+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Sedangkan para politisi partai tadi meyakini  jika diri mereka terpilih menjadi wakil rakyat atau pemimpin sosial berarti mereka dengan segera akan diperlakukan sebagai bagian dari Ulil Amri Minkum !!!!!!!!!!

?????????????????????????????????????????

Dan hal itu akan menyebabkan mereka memiliki keistimewaan untuk ditaati oleh para konstituen. Selain orang-orang yang sibuk menghamba kepada Allah semata, mana ada manusia yang tidak suka dirinya mendapatkan ketaatan ummat?  Itulah sebabnya ayat ini sering dikutip di musim kampanye. Namun sayang, mereka umumnya hanya mengutip sebaian saja yaitu:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُم

”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS An-Nisa ayat 59)

Mereka biasanya hanya membacakan ayat tersebut hingga kata-kata Ulil Amri Minkum. Bagian sesudahnya jarang dikutip. Padahal justru bagian selanjutnya yang sangat penting. Mengapa?

Karena justru bagian itulah yang menjelaskan ciri-ciri utama Ulil Amri Minkum. Bagian itulah yang menjadikan kita memahami siapa yang sebenarnya Ulil Amri Minkum dan siapa yang bukan. Bagian itulah yang akan menentukan apakah fulan-fulan yang berkampanye tersebut pantas atau tidak memperoleh ketaatan ummat.
Dalam bagian selanjutnya Allah berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

”Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa ayat 59)

Allah menjelaskan bahwa ciri-ciri utama Ulil Amri Minkum yang sebenarnya ialah komitmen untuk selalu mengembalikan segenap urusan yang diperselisihkan kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).
Para pemimpin sejati di antara orang-orang beriman tidak mungkin akan rela menyelesaikan berbagai urusan kepada selain Al-Qur’an dan Sunnah Ar-Rasul. Sebab mereka sangat faham dan meyakini pesan Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Hujurat ayat 1)

+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

  • Sehingga kita jumpai dalam catatan sejarah bagaimana seorang Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu di masa paceklik mengeluarkan sebuah kebijakan ijtihadiberupa larangan bagi kaum wanita beriman untuk meminta mahar yang memberatkan kaum pria beriman yang mau menikah.
  • Tiba-tiba seorang wanita beriman mengangkat suaranya mengkritik kebijakan Khalifah seraya mengutip firman Allah yang mengizinkan kaum mu’minat untuk menentukan mahar sesuka hati mereka. Maka Amirul Mu’minin langsung ber-istighfar dan berkata: ”Wanita itu benar dan Umar salah. Maka dengan ini kebijakan tersebut saya cabut kembali…!”

Subhanallah, demikianlah komitmen para pendahulu kita dalam hal mentaati Allah dan RasulNya dalam segenap perkara yang diperselisihkan.

+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Adapun dalam kehidupan kita dewasa ini segenap sistem hidup yang diberlakukan di berbagai negara –baik negara Muslim maupun Kafir- ialah mengembalikan segenap urusan yang diperselisihkan kepada selain Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya). Tidak kita jumpai satupun tatanan kehidupan modern yang jelas-jelas menyebutkan bahwa ideologi yang diberlakukan ialah ideologi Islam yang intinya ialah mendahulukan berbagai ketetapan Allah dan RasulNya sebelum yang lainnya. Malah sebaliknya, kita temukan semua negara modern yang eksis dewasa ini memiliki konstitusi buatan manusia, selain Al-Qur’an dan AsSunnah An-Nabawiyyah, yang menjadi rujukan utama kehidupan berbangsa dan bernegara. Seolah manusia mampu merumuskan konstitusi yang lebih baik dan lebih benar daripada sumber utama konstitusi yang datang dari Allahsubhaanahu wa ta’aala.

Bila demikian keadaannya, berarti tidak ada satupun pemimpin negeri di negara manapun yang ada dewasa ini layak disebut sebagai Ulil Amri Minkum yang sebenarnya.

  • Pantaslah bilamana mereka dijuluki sebagai Mulkan Jabbriyyan

sebagaimana Nabi shollallahu ’alaih wa sallam sebutkan dalam hadits beliau. Mulkan Jabbriyyan artinya para penguasa yang memaksakan kehendaknya seraya tentunya mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya.

Adapun masyarakat luas yang mentaati mereka berarti telah menjadikan para pemimpin tersebut sebagai para Thoghut,    yaitu pihak selain Allah yang memiliki sedikit otoritas namun berlaku melampaui batas sehingga menuntut ketaatan ummat sebagaimana layaknya mentaati Allah. Na’udzubillahi min dzaalika.

Keadaan ini mengingatkan kita akan peringatan Allah mengenai kaum munafik yang mengaku beriman namun tidak kunjung meninggalkan ketaatan kepada Thoghut.

Padahal Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk meninggalkan para Thoghut bila benar imannya.

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آَمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ
وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ
وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS An-Nisa ayat 60)

Sungguh dalam kelak nanti di neraka penyesalan mereka yang telah mentaati para pembesar dan pemimpin yang tidak menjadikan Allah dan RasulNya sebagai tempat kembali dalam menyelesaikan segenap perkara kehidupan.

يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا
رَبَّنَا آَتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا

”Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: “Alangkah baiknya, andaikata kami ta`at kepada Allah dan ta`at (pula) kepada Rasul”. Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menta`ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar”. (QS Al-Ahzab ayat 66-68)

Kutipan

KALAU TEPUK TANGAN DAN SIULAN SAJA DISEBUT IBADAH APALAGI HORMAT BENDERA

4 Mar
Hoo allah muhammad

Hoo allah muhammad (Photo credit: Wikipedia)

KALAU TEPUK TANGAN DAN SIULAN SAJA DISEBUT IBADAH APALAGI HORMAT BENDERA

بسم الله الرحمن الرحيم

Allah Azza Wa Jalla Berfirman :
وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلَّا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ

“Tidaklah sholat (ibadah) mereka (kaum musyrik) di sekitar Baitullah itu, kecuali hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu”. (QS Al Anfal 35)

Rasulullah Shollallohu ‘alaihi Wasallam Bersabda 

لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ

“Bukanlah golongan kami, mereka yang mengajak kepada Nasionalisme”,. (HR Abu Dawud)

« مَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يَدْعُو عَصَبِيَّةً أَوْ يَنْصُرُ عَصَبِيَّةً فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ »

“Barangsiapa yang berperang dengan slogan primordialisme, mendakwahkan (mengajak & menyerukan) nasionalisme atau membantu menegakkan nasinalisme, lalu ia mati MAKA IA MATI DALAM KEADAAN JAHILIYYAH”. (HR. Muslim)

Lalu marilah kita bandingkan antara tepuk tangan dan siulan dengan upacara bendera dan segala pernik-perniknya

  • Penanaman Nasionalisme dalam penghormatan bendera dan upacara  adalah dakwah Jahiliyyah sebagaimana hadits di atas
  • Mengheningkan cipta adalah tasyabbuh (menyerupai) dengan ibadahnya agama Hindu, Budha dan Kristen. Sedangkan Rasulullah Shollallohu ‘alaihi Wasallam melarang keras meniru upacara agama lain.
  • Di antara bunyi syair lagu Indonesia Raya adalah : “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya UNTUK INDONESIA RAYA = syair ini telah membatalkan pernyataan kita setiap sholat : “Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku, HANYALAH UNTUK ALLAH RABB SEMESTA INI”
  • Dalam lagu Berkibarlah Benderaku terdapat syair “Siapa berani menurunkan engkau, serentak rakyatmu membela …. “ Apakah ini bukan kalimat syirik ?

Padahal Rasulullah bersabda dalam hadits shahih (artinya) :

واِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سُخْطِ اللهِ لاَ يُلْقِى لَهاَ بَالاً فيَهْوِى بِهاَ فِى جَهَنَّمَ

“Ada seseorang yang mengucapkan suatu kalimat yang dimurkai Allah, sedangkan ia mengucapkannya tanpa tujuan yang jelas, tetapi disebabkan kalimat itu Allah Melmparkannya ke dalam neraka jahannam” (Muttafq Alaih) . Na’udzu billah

  • Di antara bunyi syair lagu Wajib “Padamu Negeri” adalah : “Bagimu Negeri JIWA RAGA KAMI” : ini adalah seruan jahiliyyah dan bertentangan dengan syahadat kita dan bisa menggugurkan ke Islaman pengucapnya

Padahal Allah Azza Wa Jalla Berfirman  :

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ  لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

“Katakanlah: sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS Al An’am 162 – 163)

  • Dalam Tafsir Ibnu Katsir juz 4/52 disebutkan : “Orang-orang Musyrik Quraisy mengelilingi Ka’bah dengan telanjang tanpa sehelai benang pun sambil bersiul-siul dan bertepuk tangan”. Dan ini oleh Allah disebut sholatnya kaum musyrik

Maka kalau sambil telanjang, tepuk-tepuk tangan dan siulan saja oleh Allah disebut “sholat” krn di situ ada makna pengagungan dan ketundukan kpd Latta, Uzza dan Manath, walaupun dalam bentuk yang mungkin aneh bagi kita, apalagi penghormatan bendera yg di dalamnya ada tujuan pengagungan thd bendera, bahkan rela mati demi Sang Saka Merah Putih dsb. Apa bedanya dengan orang Jahiiyyah dulu ?

  • Berikut ini tafsir Al Anfal 35 versi Departemen Agama : ” Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu”.

Seterusnya ALLAH  سبحنحا و تعال. menerangkan sebab-sebab mereka tidak berhak menguasai Baitullah, dan daerah haram, yaitu karena mereka dalam waktu beribadat, mengerjakan tawaf mereka bertelanjang dan bersiul-siul serta bertepuk tangan.

روى عن إبن عباس رضى الله عنهما: كانت قريش تطوف بالبيت عراة تصفر وتصفق

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallohu ‘Anhu : “Orang-orang Quraisy mengitari Baitullah dalam keadaan telanjang, bertepuk tangan dan bersiul-siul”.(H.R Ibnu Abi Hatim dari Ibnu ‘Abbas)

Dan diriwayatkan juga dari beliau :

وروى عنه: أن الرجال والنساء منهم كانوا يطوفون عراة مشبكين بين أصابعهم يصفرون منها ويصفقون

Artinya :

“Bahwa orang-orang Quraisy itu baik laki-laki maupun perempuan, mengelilingi Kakbah dalam keadaan telanjang. Mereka saling berbimbingan tangan, bersiul-siul dan bertepuk tangan”. (H.R Ibnu Abi Hatim dari Ibnu ‘Abbas)

  • Manakah yg lebih sakral dan lebih pantas disebut sebagai ibadah : tepuk tangan dan siulan atau upacara bendera dengan segala tata tertib nya ?
  • Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa makna ibadah adalah : “Ketundukan, ketergantungan, kepatuhan, merasa takut dengan hukuman yg akan ditimpakan, menyerah pasrah, mencintai dan merasa kehilangan manakala tidak ada di dekatnya” . BUKANKAH INI SEMUA YANG AKAN DITANAMKAN KEPADA RAKYAT INDONESIA TERHADAP BENDERA DAN TANAH AIRNYA DALAM SETIAP UPACARA DAN PENGHORMATAN BENDERA ?

Dalam Syarah Kitab Tauhid, disebutkan :

تفسير العبادة، وهي: التذلل والخضوع للمعبود خوفاً ورجاء ومحبة وتعظيماً    القول المفيد على كتاب التوحيد –

Tafsir dari Ibadah adalah : “Merendahkan diri dan tunduk patuh kepada yang diibadahi, dengan disertai rasa takut (akan hukuman), kecintaan yg dalam dan penghormatan serta pengagungan kepadanya ” (Al Qaul Al mufid ‘Ala kitab Tauhid juz 1 hal 320)

Untuk lebih memperjelas makna IBADAH, berikut tambahan saya

Allah Azza wa jalla berfirman (artinya)

“Mereka (Yahudi dan Nasrani) menjadikan orang-orang ‘alim dan rahib-rahib (pendeta) mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allâh”. (QS At Taubah 31)

Apakah yang dimaksud menjadikan orang-orang ‘alim dan rahid-rahib sebagai tuhan-tuhan selain Allâh? Apakah mereka sujud, menyembah kepada orang-orang ‘alim dan rahib-rahib itu seperti orang-orang musyrik menyembah berhala ?

Al-Imâm Ibnu Katsîr telah menjelaskan masalah ini dengan sebuah hadits dari jalur Al-Imâm Ahmad, At-Tirmidzî dan Ibnu Jarîr; yaitu hadits yang mengisahkan kedatangan ‘Adî bin Hâtim ke Madînah dalam rangka kunjungannya yang pertama kepada Rasûlullâh Shollallohu ‘alihi wasallam .

— ketika itu ‘Adî masih beragama Nasrani — dan memakai kalung salib dari perak. Maka Rasûlullâh صلى الله عليه وسلم . pun membacakan ayat ini (Surah At-Taubah (9) : 31) di hadapan ‘Adî bin Hâtim : “Mereka (Yahûdi dan Nasrani) menjadikan orang-orang ‘alim dan rahib-rahib (pendeta) mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allâh”. (QS At Taubah 31)

‘Adî bin Hâtim segera menyanggah dengan mengatakan :  

“Sesungguhnya mereka tidak pernah ber’ibâdah (menyembah) kepada orang-orang ‘alim dan para pendeta”.

Maka Rasûlullâh Shollallohu ‘alihi wasallam pun segera menjawab :Sesungguhnya orang-orang ‘alim dan para pendeta itu mengharamkan sesuatu yang halal terhadap mereka dan menghalalkan sesuatu yang haram, maka mereka pun menta’atinya. Demikian itulah penyembahan (ibadah) mereka kepada orang-orang ‘alim dan para pendeta itu. (Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr juz II hal.348)

Mereka memang tidak melakukan sujud kepada para pendeta atau orang-orang ‘alim mereka, akan tetapi mereka mentaati para pendeta dan orang-orang ‘alim itu sedemikian rupa hingga hukum halal-haram bagi mereka adalah menurut aturan pendeta dan orang ‘alim, bukan menurut Allâh. Inilah pengertian atau makna ‘ibâdah yang sesungguhnya; yaitu : “Ta’at (patuh) dan merendahkan diri”,sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Bukankah sikap pemerintah terhadap mereka yang menolak menghormat bendera atau menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan alasan Nasionalisme atau berbagai alasan lain yang yang mengada-ada sudah sangat nyata menunjukkan betapa bendera dan lagu kebangsaan dikultuskan sedemikian tingginya bahkan melebihi Rasulullah ?

Pernahkah pemerintah ini sedemikian gusar melihat orang yang tidak puasa, tidak sholat atau tidak membayar zakat seperti gusarnya mereka melihat orang tidak mau hormat bendera ?

Apakah mereka sebegitu gusar manakala lafadz “Allah” diinjak-injak oleh Ahmad Dhani atau saat Lia Eden mengaku sebagai Nabi, atau Ahmadiyyah menodai Islam ? Bukankah bendera Merah Putih, Indonesia Raya dan simbol-simbol jahiliyyah lainnya, lebih mereka junjung tinggi dan mereka hormati dibanding Allah dan Rasul-Nya.

Di NKRI ini seseorang bisa bebas menghina Allah, Rasulullah dan Dien Al Islam, tapi mereka  tidak boleh sama sekali menghina Merah Putih atau Garuda Pancasila. Hukuman penjara telah menanti  Allahu Musta’aan.

Sikap represif pemerintah terhadap mereka yang tidak mau hormat bendera atau ikut upaca bendera, semakin menunjukkan bahwa ini bukan sekedar masalah sepele, tapi ini soal IMAN dan AQIDAH.

Masihkah kita ragu bahwa musuh-musuh Allah  sudah mengobok-obok aqidah dan iman kita serta mengancam syahadat anak istri dan keluarga kita ?

_______________________________________

CATATAN PENTING : 

Bukan hukum tepuk tangannya atau bersiul  yg kita masalahkan, tetapi pengagungan sesuatu selain Allah dengan cara bertepuk tangan dan bersiul. Bukan hanya tepuk tangan yang bisa disebut ibadah, bahkan kedipan mata seorang pendeta Barghisah yang merupakan isyarat ketundukan dan kepatuhan kepada iblis, sudah menyebabkannya murtad. Silahkan antum baca Tafsir surah Al Hasyr ayat 16

“Seperti (bujukan) shaitan ketika dia berkata kepada manusia: “Kafirlah kamu”, maka tatkala manusia itu telah kafir, maka ia berkata: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu, karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta Alam.” (QS Al Hasyr 16)

APAKAH LALU BERARTI MENGEDIPKAN MATA HUKUMNYA HARAM ?

Yg sedang saya bahas di sini adalah bahwa  ibadah bukan hanya rukuk sujud, bahkan tepuk tangan, kedipan mata, desiran hati pun bisa menjadi ibadah jika itu dimaksudkan sebagai pengagungan, kepatuhan, ketundukan dan ketaatan mutlak kpd sesuatu.

Anda mungkin juga meminati:

Dahsyatnya Ujian Wanita dan Dunia

WANITA : MAYORITAS PENGHUNI NERAKA

MULKAN JABBARIYYAN BUKAN ULIL AMRI !!!!!!!

WAHAI AHLI IBADAH DI DUA TANAH HARAM, IBADAHMU HANYA …

Belajar Berhitung Yuk

LinkWithin

Diposkan oleh Ashabu Rayati Suud di 01.11

1 komentar:

AZZAM AL INTIFADHA mengatakan…

Tidak boleh bagi seorang muslim berdiri untuk memberi hormat kepada bendera dan lagu kebangsaan. Ini termasuk perbuatan bid’ah yang harus diingkari dan tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam ataupun pada masa al-Khulafa’ ar-Rasyidun Radiyallahu ‘anhum.

Sikap ini juga bertentangan dengan tauhid yang wajib sempurna dan keikhlasan didalam mengagungkan hanya kepada Allah semata serta merupakan sarana menuju kesyirikan .

Di samping itu, ia juga merupakan bentuk penyerupaan terhadap orang-orang kafir, mentaklid (mengikuti) tradisi mereka yang jelek serta menyamai mereka dalam sikap berlebihan terhadap para pemimpin dan protokoler-protokoler resmi. Padahal, Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita berlaku sama seperti mereka atau menyerupai mereka. Wa billahi at-Taufiq, wa shallaallhu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘alihi wa shahbihi wa sallam.

(Kumpulan fatwa al Lajnah ad Daimah li al Buhuts al ‘Ilmiyyah wa al Ifta, Lembaga tetap pengkajian ilmiah dan riset fatwa Saudi Arabia, halaman 149. Dikumpulkan dalam Al Fatawa Asy Syari’iyyah fi Al Masa’il Al ‘Ashriyyah min Fatawa Ulama’ Al Balad Al Haram oleh Khalid Al Juraisiy).

Dari Jabir bin Abdillah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Janganlah kalian memberikan penghormatan ala Yahudi. Sesungguhnya penghormatan ala Yahudi adalah dengan isyarat dengan kepala dan telapak tangan”

(Hadits riwayat Nasai dalam ‘Amal al Yaum wa al Lailah no 340. Abu Ya’la dan Thabrani dalam al Ausath. Dalam Fathul Bari 11/12 al Hafiz Ibnu Hajar mengatakan bahwa sanadnya adalah berkualitas jayyid. Hadits di atas juga dinilai hasan oleh al Albani dalam Silsilah Shahihah no 1783).

Diriwayatkan oleh Tirmidzi no 695 dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Bukanlah bagian dari kaum muslimin orang-orang yang menyerupai orang-orang kafir. Janganlah kalian menyerupai orang-orang Yahudi ataupun Nasrani. Sesungguhnya penghormatan ala Yahudi adalah isyarat dengan jari jemari sedangkan penghormatan ala Nasrani adalah isyarat dengan telapak tangan”. (Hadits ini dinilai hasan oleh al Albani dalam Sahih Sunan Tirmidzi.)

Sumber-Nur-iman.blogspot.com

IbnuAbdullooh@

Abu Muhammad

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ. “Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in).”[Muttafaq alaih] HR. Al-Bukhari (no. 2652) dan Muslim (no. 2533 (212)), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu.

Perhimpunan Umat Islam -(PUMI)-

menghimpun kekuatan untuk kemenangan

Point Fadh

Berbagi Pengetahuan Itu Indah

ILMU DAKWAH DAN JIHAD

IbnuAbdulloohAzis@ymail.com